Lukas 24:16 (TB) Tetapi ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia.
Penampakan Kristus kepada kedua murid yang sedang pergi menuju Emaus ini telah disinggung sebelumnya dalam Markus 16:12, tetapi di sini, hal itu diceritakan dengan lebih jelas. Hal itu terjadi di hari yang sama sewaktu Kristus bangkit, hari pertama dunia baru yang bangkit bersama Dia. Salah satu dari kedua murid itu bernama Kleopas atau Alfeus, yang disebut para penulis kuno sebagai saudara lelaki Yusuf, ayah Yesus, sedangkan seorang yang lainnya tidak diketahui dengan pasti. Beberapa orang beranggapan dia itu Petrus, sebab kelihatannya Kristus memang menampakkan diri secara khusus kepada Petrus pada hari itu, dan kejadian tersebut menjadi buah bibir di antara kesebelas murid itu (ay. 34), dan disebut-sebut oleh Paulus dalam 1 Korintus 15:5. Namun sebetulnya, tidak mungkin Petrus adalah salah satu dari kedua orang itu, sebab justru Petrus adalah salah seorang dari kesebelas murid lain yang mereka temui kemudian. Lagi pula, kita sudah tahu betul sifat Petrus. Seandainya dia adalah salah satu dari kedua murid itu, pastilah dia yang akan tampil bicara, bukannya Kleopas. Jadi, orang itu adalah salah satu dari mereka yang terkait dengan kesebelas murid sebagaimana tertulis dalam ayat 9. Nah, dalam bagian kisah di atas, kita dapat memperhatikan beberapa hal:
I. Perjalanan dan perbincangan kedua murid tersebut. Mereka pergi ke sebuah kampung bernama Emaus, yang kira-kira berjarak dua jam perjalanan kaki dari Yerusalem, yang di sini disebutkan kira-kira tujuh mil [sebelas kilometer — pen.] jauhnya (ay. 13). Tidak diceritakan alasan mereka pergi ke sana, apakah karena memang ada urusan atau hanya ingin mengunjungi teman saja. Saya rasa mereka sedang kembali pulang ke Galilea, dengan maksud untuk tidak lagi berurusan lebih jauh dengan perkara mengenai Yesus. Mungkin mereka ingin menyepi dan undur dari kelompok mereka tanpa meminta izin atau berpamitan terlebih dahulu, sebab mereka menganggap kisah kebangkitan Guru mereka yang telah mereka dengar pagi itu hanyalah omong kosong belaka. Maka tidak heran jika mereka mulai menyusun rencana untuk pulang ke tempat asal mereka secepat mungkin. Tetapi, di sepanjang perjalanan, mereka tetap bercakap-cakap tentang segala sesuatu yang telah terjadi (ay. 14). Mereka tidak berani mendiskusikan hal-hal tersebut atau menanyakan apa yang harus diperbuat dalam keadaan genting di Yerusalem saat itu, sebab mereka takut terhadap orang Yahudi. Mereka baru leluasa memperbincangkan hal tersebut setelah mereka menjauh dari orang-orang itu. Mereka bercakap-cakap tentang segala sesuatu yang telah terjadi, menghitung-hitung kemungkinan benar tidaknya kebangkitan Kristus itu, sebab kelihatannya, mereka sedang menimbang-nimbang apakah akan terus pergi atau harus kembali ke Yerusalem. Perhatikan, sudah sepantasnya murid-murid Kristus membicarakan kematian dan kebangkitan-Nya pada saat mereka sedang bersama-sama, sehingga mereka dapat saling memperdalam pengetahuan satu sama lain, saling mengingatkan satu sama lain, serta saling membangkitkan perasaan kasih dan bakti mereka kepada-Nya.
II. Seorang rekan seperjalanan yang mereka temukan di tengah jalan, yaitu saat Yesus sendiri datang untuk menggabungkan diri dengan mereka (ay. 15): mereka berdua sedang bercakap-cakap dan bertukar pikiran, bahkan mungkin juga sedang berdebat sengit: yang satu berharap sang Guru telah benar-benar bangkit dan akan mendirikan kerajaan-Nya, sedang yang satu lagi merasa putus asa. Yesus sendiri datang mendekati mereka sebagai seorang tak dikenal yang menyatakan keinginan-Nya untuk bergabung dengan mereka setelah mengetahui bahwa mereka sedang menuju ke arah yang sama dengan-Nya. Nah, di sini ada satu contoh yang bisa kita perhatikan supaya kita terdorong untuk terus memperbincangkan hal-hal kekristenan yang dapat membangun iman kita, yaitu bahwa setiap kali ada dua orang yang melakukan hal tersebut bersama-sama, Kristus pun akan datang menghampiri mereka dan menggabungkan diri menjadi orang ketiga. Saat orang-orang yang takut akan Tuhan saling menasihati, Tuhan akan mengindahkan dan mendengarnya, serta menggabungkan diri bersama-sama dengan mereka di dalam kebenaran sehingga kedua orang yang terpaut di dalam iman dan kasih itu akan menjadi tali tiga lembar yang tak mudah diputuskan (Pkh. 4:12). Dalam percakapan dan tukar pendapat itu, kedua orang itu mencari Kristus, membandingkan apa yang mereka ketahui mengenai Dia supaya mereka dapat lebih mengenal-Nya, dan kini Kristus pun datang kepada mereka. Perhatikan, orang yang mencari Kristus akan menemukan-Nya. Dia akan menampakkan diri kepada mereka yang mencari-Nya, dan menganugerahkan pengetahuan kepada mereka yang selalu menggunakan pengetahuan yang telah mereka miliki sebelumnya. Saat sang kekasih menanyakan tentang jantung hatinya kepada para peronda kota, dia menemukannya sesaat setelah dia meninggalkan mereka (Kid. 3:4). Akan tetapi, sekalipun Kristus ada bersama-sama dengan mereka, pada awalnya mereka tidak menyadari hal itu (ay. 16): tetapi ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia. Kelihatannya, ada perubahan fisik tubuh Yesus (sebab Injil Markus menuliskan bahwa Ia menampakkan diri dalam rupa yang lain) dan juga ada sesuatu yang menghalangi indra para murid tersebut (sebab di sini dikatakan bahwa ada suatu kuasa ilahi yang menghalangi mata mereka), atau juga, seperti yang dipikirkan oleh sebagian orang, waktu itu ada kekacauan dalam suasana di sekeliling mereka. Suasana saat itu lain daripada yang lain sampai mereka pun tidak dapat mengenali siapa Dia. Akan tetapi, apa pun yang sebenarnya terjadi, yang jelas mereka tidak mengenali-Nya, sebab Kristus sendiri yang membuat semuanya seperti itu supaya mereka bisa lebih leluasa bercakap-cakap dengan Dia, dan supaya nyata bahwa firman-Nya serta pengaruh yang ditimbulkan firman-Nya itu tidak tergantung pada hadirat jasmani-Nya yang begitu diagung-agungkan para murid. Mereka harus diajari untuk tidak bergantung pada Dia dengan cara seperti itu. Tetapi, Dia juga dapat mengajari dan menggugah hati mereka melalui orang lain, yang memiliki hadirat roh-Nya dan yang disertai dengan anugerah-Nya yang tidak tampak secara kasat mata.
III. Perbincangan yang terjadi di antara kedua murid dan Kristus saat itu. Mereka tidak mengenali Dia, sedangkan Dia mengenal mereka. Nah, kini Kristus dan murid-murid itu bertanya jawab, seperti yang biasa dilakukan para sahabat yang berjumpa dengan orang yang tidak dikenal, atau yang sedang menyamar.
. Pertanyaan pertama yang diajukan Kristus kepada mereka adalah mengenai kesedihan yang tergurat dengan jelas di wajah mereka: “Apakah yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?” Pertanyaan itu bernada ramah dan lembut.
Perhatikanlah:
(1) Mereka sedang bersedih, dan hal itu tampak jelas bagi si orang asing itu.
[1] Mereka telah kehilangan Guru yang sangat mereka kasihi, dan dalam pikiran mereka sendiri, mereka merasa kecewa karena sudah berharap banyak dari-Nya. Mereka telah putus harapan dan tidak tahu harus berbuat apa untuk mendapatkannya kembali. Perhatikan, murid-murid Kristus memiliki alasan untuk merasa sedih saat Dia undur diri dari hadapan mereka; mereka harus berpuasa saat sang mempelai diambil dari mereka.
[2] Meskipun Dia telah bangkit dari antara orang mati, tetapi entah karena mereka belum mengetahuinya atau bahkan tidak memercayainya, mereka masih terus bersedih. Perhatikan, para murid Kristus sering kali merasa sedih dan bermuram durja saat mereka seharusnya bersukacita, dan karena iman mereka yang lemah, mereka pun tidak dapat menikmati penghiburan yang ditawarkan kepada mereka.
[3] Dengan sedih, mereka bercakap-cakap satu sama lain mengenai Kristus. Perhatikan,
pertama, sudah sepantasnya orang-orang Kristen berbincang-bincang tentang Kristus. Bila hati kita dipenuhi oleh-Nya, sebagaimana yang sudah seharusnya, oleh apa yang telah Dia lakukan dan derita bagi kita, maka dari dalam hati akan meluap keluar melalui mulut bukan saja tentang Allah dan pemeliharaan-Nya, tetapi juga mengenai Kristus dan anugerah serta kasih-Nya. Kedua, teman yang baik dan percakapan yang membangun merupakan obat yang ampuh untuk mengusir kesedihan yang mendalam. Saat para murid Kristus sedang berduka, mereka tidak saling memisahkan diri, tetapi terus berdua-dua sebagaimana mereka dulu pernah diutus, sebab berdua lebih baik daripada sendirian, terutama pada masa-masa sulit. Menyalurkan kesedihan dapat meringankan beban mereka yang sedang berduka, dan dengan membicarakannya, kita mungkin dapat membuat keadaan menjadi lebih baik bagi diri kita sendiri dan bagi kawan-kawan kita. Orang yang sama-sama sedang berduka dapat saling menghibur, dan penghiburan yang paling manjur terkadang muncul dari keadaan yang demikian.
(2) Kristus datang menghampiri mereka dan bertanya tentang apa yang sedang mereka perbincangkan dan apa yang membuat mereka kelihatan muram: Apakah yang kamu percakapkan? Meski kini Kristus telah masuk dalam kemuliaan-Nya, namun Dia masih saja peduli terhadap para murid-Nya, dan ingin menghibur mereka. Dengan penuh keprihatinan Dia berbicara kepada kedua orang itu. Mengapakah hari ini mukamu semuram itu? (Kej. 40:7). Perhatikan, Tuhan kita Yesus memperhatikan kesedihan dan dukacita para murid-Nya, dan ikut bersusah hati saat mereka sedang ditimpa kesusahan.
Dengan begitu, Kristus mengajari kita supaya:
[1] Bersikap ramah dan bergaul. Di sini Kristus terlibat dalam percakapan dengan dua orang yang sedang bersusah hati, meskipun Ia seorang asing dan mereka tidak mengenal-Nya, dan mereka sendiri pun mau menerima Dia. Orang Kristen tidak seharusnya bersikap murung dan malu-malu, tetapi harus selalu riang untuk bergaul dengan orang lain.
[2] Penuh belas kasihan. Saat kita melihat kawan kita larut dalam kesedihan dan dukacita, kita harus bertindak seperti Kristus, merasakan kedukaan mereka dan memberi mereka nasihat dan penghiburan terbaik yang bisa kita berikan. Menangislah dengan orang yang menangis.
. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kedua orang itu balik bertanya kepada-Nya mengenai ketidaktahuan-Nya. “Adakah Engkau satu-satunya orang asing di Yerusalem, yang tidak tahu apa yang terjadi di situ pada hari-hari belakangan ini?”
Perhatikan:
(1) Kleopas menjawab dengan sopan. Dia tidak menjawab-Nya dengan kasar, “Apa pun yang sedang kami perbincangkan, itu bukanlah urusanmu!” atau menyuruh-Nya untuk tidak ikut campur. Perhatikan, kita harus selalu bersikap sopan terhadap mereka yang ramah kepada kita, serta memperlakukan semua orang dengan santun, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Pada waktu itu, para murid Kristus sedang ada dalam situasi yang berbahaya, tetapi Kleopas tidak merasa curiga bahwa si orang asing ini memiliki maksud tertentu terhadap mereka, atau hendak melaporkan mereka dan mendatangkan kesulitan bagi mereka. Kasih tidak pernah mendorong kita untuk cepat-cepat berpikiran buruk, bahkan terhadap orang yang tidak kita kenal.
(2) Saat itu, pikiran Kleopas sendiri sedang dijejali oleh ingatannya akan Kristus serta penderitaan dan kematian-Nya, sehingga ia pun merasa heran mendapati orang yang tidak merasa sama seperti dirinya, “Apa? Sedemikian asingkah Engkau dengan Yerusalem sampai tidak mengetahui apa yang telah menimpa Guru kami di sana?” Perhatikan, orang-orang yang tidak mengenal kematian dan penderitaan Kristus memang bagaikan orang-orang asing di Yerusalem. Masa puteri-puteri Yerusalem begitu tidak mengenal Kristus sampai-sampai harus bertanya, “Apakah kelebihan kekasihmu dari pada kekasih yang lain?”
(3) Kleopas tidak segan memberi tahu orang asing ini tentang Kristus, dan terus berbicara dengan Dia tentang hal tersebut. Dia tidak tahan mengetahui bahwa masih ada orang yang tidak tahu-menahu mengenai Kristus. Perhatikan, orang yang memiliki pengetahuan tentang Kristus yang disalibkan harus melakukan apa pun sebisanya untuk menyebarkan kabar itu dan memperkenalkan-Nya kepada orang lain. Di sini jelas terlihat bahwa para murid ini, yang begitu bersemangat mengajarkan hal itu kepada seorang asing, justru kemudian balik diajari oleh-Nya, karena setiap orang yang mempunyai sesuatu dan memakai apa yang ia punyai, kepadanya akan ditambahkan lebih lagi.
(4) Penuturan Kleopas menunjukkan bahwa kematian Kristus telah menggemparkan Yerusalem sehingga rasanya mustahil jika di kota itu masih ada orang yang begitu tidak tahu-menahu akan kejadian itu. Peristiwa ini sudah menjadi bahan pergunjingan di seluruh kota dan dipercakapkan oleh semua orang. Demikianlah kebenaran tersebut telah tersiar ke seluruh tempat, dan harus dijelaskan setelah Roh Kudus dicurahkan.
. Sebagai jawaban, Kristus malah balik bertanya lagi tentang apa yang mereka ketahui (ay. 19): Kata-Nya kepada mereka, “Apakah itu?” dan membuat-Nya semakin terkesan sebagai seorang asing.
Perhatikanlah:
(1) Bagaimana kini Yesus Kristus memandang penderitaan-Nya sendiri dengan ringan, setelah membandingkannya dengan sukacita yang sekarang terbentang di hadapan-Nya, yang merupakan ganti rugi bagi Dia. Setelah masuk ke dalam kemuliaan-Nya, kini lihatlah bagaimana Ia menoleh ke belakang dan memandang penderitaan yang telah dialami-Nya: Apakah itu? Dia tahu betul semua yang dipercakapkan kedua murid itu, sebab peristiwa tersebut sangat pahit dan berat bagi-Nya. Namun, sekalipun begitu, Dia masih bisa bertanya, “Apakah itu?” Semua duka kini telah sirna, digantikan oleh kesukaan karena Anak Manusia Sang Juruselamat kita itu telah lahir. Dia menanggung kelemahan kita dengan sukacita, untuk mengajari kita supaya kita pun bersedia berbuat hal serupa bagi-Nya.
(2) Pertama-tama Dia selalu menyelidiki seberapa jauh pengetahuan orang-orang yang akan diajari-Nya. Mereka harus terlebih dahulu memberi tahu Dia tentang apa saja yang telah mereka pelajari, barulah setelah itu Ia pun akan mengajari mereka mengenai makna dari hal-hal tersebut dan membukakan rahasia di balik semua itu kepada mereka.
. Setelah itu, mereka pun menceritakan kisah Kristus serta situasi terkini dari perkara tersebut. Perhatikanlah kisah yang mereka paparkan (ay. 19, dst).
(1) Di sini terdapat rangkuman dari kehidupan dan karakter Kristus. Perkara yang memenuhi pikiran mereka adalah perkara mengenai Yesus orang Nazaret (begitulah orang biasa menyebut-Nya), yang adalah seorang nabi, seorang guru yang berasal dari Allah. Dia menyiarkan ajaran yang benar dan hebat, yang sungguh berasal dari sorga dan selalu mengarah ke sorga. Dia telah membuktikan semua itu dengan banyak mujizat yang menakjubkan dan penuh dengan belas kasihan, sehingga Dia berkuasa dalam pekerjaan dan perkataan di hadapan Allah dan di depan seluruh bangsa kami, yang artinya, Dia menjadi kesayangan sorga sekaligus berkat besar bagi bumi ini. Dia begitu dikasihi Allah dan juga disayangi manusia. Allah sungguh berkenan kepada-Nya, dan nama-Nya pun harum di negeri ini. Banyak orang terlihat hebat di hadapan semua orang dan begitu dikagumi, namun ternyata tidak begitu di hadapan Allah, seperti halnya para ahli Taurat dan orang Farisi, tetapi Kristus sangat berkuasa, baik dalam pengajaran maupun dalam perbuatan-Nya, di hadapan Allah dan semua umat manusia. Hanya orang asing di Yerusalem saja yang tidak mengetahui semua itu.
(2) Di sini terdapat juga gambaran sederhana tentang penderitaan dan kematian-Nya (ay. 20). “Meskipun Dia begitu dikasihi Allah dan orang-orang, imam-imam kepala dan pemimpin-pemimpin kami, telah menyerahkan Dia kepada kekuasaan Romawi untuk dihukum mati, dan mereka telah menyalibkan-Nya.” Dengan demikian mereka menghina Allah dan manusia. Aneh rasanya bahwa kedua murid itu tidak terlalu membesar-besarkan masalah ini, dan tidak memberatkan kesalahan orang-orang yang telah menyalibkan Kristus itu. Namun, ini mungkin karena mereka sedang berbicara dengan orang yang tak dikenal sehingga mereka lebih memilih untuk menghindari perkataan yang dapat menimbulkan kesan buruk terhadap para imam kepala dan pemimpin mereka, walaupun kenyataannya memang begitu.
(3) Di sini juga tersirat kekecewaan mereka terhadap-Nya, yang merupakan penyebab kesedihan mereka: “Padahal kami dahulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel (ay. 21). Kami adalah sebagian dari orang-orang yang tidak hanya menganggap-Nya sebagai seorang nabi seperti Musa, tetapi juga seorang penebus.” Semua orang yang menantikan kelepasan dan penghiburan bagi Israel menggantungkan harapan mereka kepada-Nya, dan berharap Dia akan melakukan hal-hal besar. Nah, jika harapan yang tertunda saja bisa menyedihkan hati, maka harapan yang pupus pastilah sangat meluluhlantakkan hati, apalagi jika harapannya sebesar itu. Akan tetapi lihatlah, kematian Kristus yang membuat mereka putus asa itu justru adalah landasan yang teguh bagi pengharapan mereka, jika saja mereka dapat memahaminya dengan baik: Padahal kami dahulu mengharapkan (kata mereka), bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel. Bukankah Dia memang telah menebus Israel? Bukankah Ia telah membayar harga penebusan itu melalui kematian-Nya? Bukankah Ia memang harus menderita untuk menyelamatkan Israel dari dosa-dosa mereka? Camkanlah baik-baik, oleh karena bagian tersulit dari tugas-Nya kini telah selesai, mereka harusnya semakin memiliki alasan untuk memercayai bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan Israel, tetapi sebaliknya, mereka malah hampir menyerah.
(4) Di sini terdapat keheranan mereka sehubungan dengan kebangkitan-Nya.
[1] “Tetapi sementara itu telah lewat tiga hari sejak Ia disalibkan dan mati, dan ini adalah hari yang telah dinanti-nantikan, jika benar bahwa Ia akan bangkit lagi, bangkit dalam kemuliaan dan kebesaran, dan memperlihatkan diri-Nya di depan umum dalam keagungan-Nya, sebagaimana Ia juga telah dipertontonkan dalam keadaan yang hina tiga hari sebelumnya. Akan tetapi kami tidak mendapati satu tanda pun. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi seperti yang kami harapkan, supaya para penganiaya-Nya itu menjadi yakin dan kalut, dan para murid-Nya terhiburkan. Yang ada hanyalah kesunyian.”
[2] Mereka mengakui bahwa memang telah ada sebuah laporan yang sampai ke antara mereka bahwa Dia telah bangkit, tetapi sepertinya mereka meremehkan kabar itu dan tidak memercayainya sama sekali (ay. 22-23): “Tetapi beberapa perempuan dari kalangan kami telah mengejutkan kami (dan hanya itu saja yang bisa mereka perbuat). Pagi-pagi buta mereka telah pergi ke kubur, dan tidak menemukan mayat-Nya. Lalu mereka datang dengan berita, bahwa telah kelihatan kepada mereka malaikat-malaikat, yang mengatakan, bahwa Ia hidup. Tetapi kami pikir semua itu hanyalah khayalan mereka saja, sebab para malaikat itu pastilah akan diutus kepada para rasul dan bukannya kepada para wanita. Lagi pula, biasanya wanita gampang sekali dibodohi.”
[3] Mereka juga mengakui bahwa beberapa dari rasul tersebut telah mengunjungi kubur dan menemukan tempat itu telah kosong (ay. 24). “Tetapi Dia tidak mereka lihat, sehingga wajar saja kalau kami takut bahwa Dia itu tidak benar-benar bangkit, sebab, jika benar demikian, pastilah Dia telah menampakkan diri-Nya kepada para rasul. Dengan demikian, intinya, kami tidak memiliki alasan yang kuat untuk memercayai bahwa Dia telah bangkit. Jadi harapan kami akan Dia kini telah sirna, semuanya terpaku pada kayu salib-Nya dan tertimbun dalam kubur-Nya.”
(5) Meskipun mereka tidak mengenali rupa-Nya, Tuhan Yesus membuat mereka mengenali-Nya melalui perkataan-Nya.
[1] Kristus menegur mereka atas kelalaian dan kelemahan iman mereka akan firman Allah yang tertulis dalam Perjanjian Lama: Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu sehingga kamu tidak percaya (ay. 25). Saat Kristus melarang kita untuk menyebut saudara kita bodoh, Ia bermaksud mencegah kita agar jangan melontarkan celaan-celaan yang tidak berdasar, tetapi Ia tidak mencegah kita untuk menyatakan teguran yang benar. Kristus menyebut kedua murid itu orang bodoh, yang bukan berarti orang fasik, yang Ia larang untuk kita lontarkan kepada orang lain, tetapi maksudnya adalah orang lemah. Dia dapat menyebut kita bodoh, sebab Dia mengenal kebodohan kita, yaitu kebodohan yang tertanam dalam hati kita. Orang-orang yang bertindak melawan kepentingan mereka sendiri adalah orang bodoh. Begitulah, murid-murid itu tidak mau memercayai bukti yang dipaparkan di hadapan mereka bahwa Guru mereka telah bangkit, dan malah menolak penghiburan yang ditawarkan di dalam kebenaran itu. Hal-hal yang dicela sebagai kebodohan dalam diri mereka adalah,
pertama, kelambanan mereka untuk percaya. Orang-orang percaya dicap tolol oleh para atheis dan orang-orang kafir serta para penganut cara berpikir bebas, dan iman mereka ditentang sebagai suatu kebodohan yang naif, tetapi Kristus memberi tahu kita bahwa orang bodoh adalah orang yang hatinya lamban untuk percaya serta dikekang oleh banyak prasangka yang tidak pernah benar-benar ditelaah kebenarannya. Kedua, kelambanan mereka untuk memercayai segala tulisan para nabi. Dia tidak begitu menyalahkan mereka atas kelambanan mereka untuk memercayai kesaksian dari para wanita dan malaikat, tetapi atas kelambanan hati mereka untuk memercayai para nabi, sebab inilah akar dari segala ketidakpercayaan mereka itu. Jika saja mereka telah benar-benar merenungkan dan mengindahkan para nabi Perjanjian Lama sebagaimana yang seharusnya mereka lakukan, mereka pasti tidak akan merasa ragu mengenai kebangkitan Kristus dari antara orang mati pagi itu (sebab hari itu adalah hari ketiga setelah kematian-Nya). Mereka akan merasa yakin, sepasti mengharapkan terbitnya matahari, karena rangkaian kejadian yang telah ditetapkan oleh nubuatan sama teguh dan kuatnya sebagaimana rangkaian kejadian yang telah ditetapkan oleh penyelenggaraan ilahi. Seandainya saja kita betul-betul mengerti firman Allah dan hikmat-Nya seperti yang diungkapkan dalam firman tersebut, maka tidak seharusnya kita dibuat bingung dengan semua kejadian yang tampaknya memusingkan kita itu.
[2] Dia menunjukkan kepada mereka bahwa penderitaan-Nya, yang telah menjadi batu sandungan bagi mereka dan membuat mereka tidak siap untuk memercayai kemuliaan-Nya, justru adalah jalan yang telah ditetapkan bagi-Nya untuk mendapatkan kemuliaan-Nya, dan Dia tidak bisa mencapainya dengan cara lain (ay. 26): “Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya? Bukankah hal itu telah ditetapkan demikian, dan ketetapan itu telah dikumandangkan, yaitu bahwa Mesias yang telah dijanjikan itu harus terlebih dahulu menderita sebelum akhirnya berkuasa, bahwa Dia harus mencapai mahkota-Nya melalui kayu salib?” Tidak pernahkah mereka baca Yesaya 53 dan Daniel 9, di mana para nabi dengan jelas-jelas memaparkan penderitaan Kristus dan kemuliaan yang akan mengikuti-Nya? (1Ptr. 1:11). Salib Kristus adalah hal yang paling tidak bisa mereka mengerti, dan di sini Ia menunjukkan kepada mereka dua hal yang menghapus aib salib itu:
Pertama, yaitu bahwa Mesias harus menderita seperti itu. Karena itulah, penderitaan-Nya bukan membantah keberadaan-Nya sebagai Mesias, tetapi justru memberi bukti bahwa Ia benar-benar Mesias, sebagaimana kesusahan para orang kudus membuktikan status mereka sebagai anak-anak-Nya. Penderitaan-Nya itu sama sekali bukan penghancur harapan mereka, justru merupakan dasar bagi pengharapan mereka itu. Dia tidak bisa menjadi Juruselamat jika Ia tidak menderita terlebih dahulu. Kristus memang mengerjakan keselamatan kita secara sukarela, tetapi untuk menunaikannya, Ia harus menderita dan mati. Kedua, setelah mengalami penderitaan itu, Dia akan masuk dalam kemuliaan-Nya, yang Ia jalani pada waktu Ia dibangkitkan. Itulah langkah pertama-Nya menuju kemuliaan-Nya. Perhatikanlah, kemuliaan itu disebut kemuliaan-Nya, sebab Dia memang berhak menerimanya. Itu adalah kemuliaan yang telah Ia miliki sebelum dunia ini dijadikan. Dia memang harus memasukinya, sebab melalui kemuliaan-Nya, dan juga melalui penderitaan-Nya itulah firman harus digenapi. Sebelum memasuki kemuliaan-Nya, Dia harus menderita terlebih dahulu. Dengan demikian, aib kayu salib telah dihapuskan untuk selamanya, dan kita pun diarahkan kepada hal yang sama, yaitu harus siap menghadapi mahkota duri sebelum menerima mahkota kemuliaan.
[3] Kristus menerangkan bagian-bagian Perjanjian Lama kepada mereka, yaitu yang menerangkan tentang Mesias dan menunjukkan bagaimana firman tersebut telah tergenapi dalam diri Yesus orang Nazaret, dan Ia kini dapat memberi tahu mereka lebih banyak daripada apa yang bisa mereka beri tahukan kepada-Nya sebelumnya (ay. 27): Mulai dari kitab-kitab Musa, penulis pertama dalam Perjanjian Lama, kemudian Ia pun melanjutkannya secara berurutan sampai pada segala kitab nabi-nabi, dan menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia, untuk menunjukkan bahwa segala penderitaan yang telah Ia alami sama sekali tidak menyalahi nubuat Kitab Suci mengenai diri-Nya, tetapi justru menggenapi semua nubuat itu. Dia memulai dengan kitab-kitab Musa, yang mencatat janji pertama yang dengan jelas bernubuat bahwa tumit Mesias akan dilukai, tetapi oleh tumit-Nya juga kepala si ular akan diremukkan. Perhatikan,
pertama-tama, banyak sekali nubuat mengenai Kristus yang tersebar di seluruh Kitab Suci, yang tentu saja sangat membantu bila nubuat tersebut dikumpulkan dan disusun dengan rapi. Di setiap bagian Kitab Suci, selalu ada sesuatu yang merujuk kepada Kristus: nubuat, janji, doa, atau hal-hal lain, sebab Dia adalah harta yang terpendam di ladang Perjanjian Lama. Benang emas anugerah Injil terjalin di seluruh Perjanjian Lama. Di setiap bagian Kitab Suci selalu ada hal-hal mengenai Dia yang perlu diperhatikan dengan jeli, yang penting sekali untuk dicerna. Kedua, segala hal mengenai Kristus harus dijelaskan. Sida-sida itu, meskipun ia terpelajar, tidak berpura-pura sudah mengerti, kecuali ada yang membimbing dia (Kis. 8:31), sebab semuanya disampaikan secara samar-samar, sesuai dengan masanya, tetapi kini tabir itu telah diangkat ketika Perjanjian Baru menjelaskan yang Lama. Ketiga, Yesus Kristus sendiri merupakan pengajar Kitab Suci yang terbaik, terutama bagian-bagian yang berkaitan dengan diri-Nya. Bahkan setelah kebangkitan-Nya, Ia masih memakai cara serupa dalam membimbing orang-orang untuk memecahkan misteri mengenai diri-Nya, bukan dengan menyiarkan pengajaran baru yang tidak sesuai dengan firman, tetapi dengan menunjukkan bagaimana firman tersebut digenapi, serta mengarahkan mereka untuk mempelajarinya lebih dalam lagi. Bahkan tulisan-tulisan Apokalipsis itu sendiri merupakan bagian kedua dari nubuat Perjanjian Lama, dan nubuat Apokalipsis ini terus dirujuk di sana. Bebal sekali jika mereka tidak memercayai kesaksian Musa dan para nabi itu. Keempat, dalam mempelajari Kitab Suci, kita harus sistematis dan teratur, sebab Perjanjian Lama seperti cahaya fajar, yang kian bertambah terang sampai rembang tengah hari. Baiklah juga bila kita memperhatikan bagaimana Allah berbicara kepada para leluhur kita mengenai Anak-Nya melalui bermacam-macam cara dan keadaan (nubuat-nubuat sebelumnya diterangkan dan dijelaskan oleh nubuat-nubuat berikutnya), dan Anak-Nya itu kini telah menjadi perantara-Nya untuk berbicara kepada kita. Beberapa orang mulai mempelajari Alkitab mereka dari ujung yang salah, yaitu dari Kitab Wahyu, tetapi di sini, Kristus telah mengajari kita untuk mulai dari kitab yang ditulis Musa. Demikianlah percakapan yang berlangsung di antara mereka.
IV. Di sini diceritakan bagaimana akhirnya Kristus membuat mereka mengenali-Nya. Mungkin saja ada orang yang mau memberikan apa saja untuk memiliki salinan khotbah yang disampaikan Kristus kepada kedua murid tersebut di sepanjang perjalanan itu, yaitu uraian keterangan mengenai Alkitab yang dipaparkan-Nya kepada mereka, tetapi kita tidak ditakdirkan untuk mengetahuinya, sebab inti dari semuanya itu sudah tertulis dalam bagian-bagian firman Allah yang lain. Kedua murid itu begitu terpesona dengan khotbah tersebut, sampai-sampai tidak menyadari bahwa perjalanan mereka ternyata hampir berakhir, tetapi memang demikianlah kenyataannya: Mereka mendekati kampung yang mereka tuju (ay. 28), di mana kelihatannya mereka berniat untuk bermalam. Dan kini:
. Mereka memohon supaya Ia tetap tinggal bersama-sama dengan mereka: Ia berbuat seolah-olah hendak meneruskan perjalanan-Nya. Dia memang tidak mengatakan demikian, tetapi kelihatannya seperti itu, tidak berniat untuk ikut tinggal di rumah teman mereka, sebab hal tersebut tidak layak dilakukan oleh orang asing kecuali bila dia juga diajak serta. Seandainya mereka tidak meminta Dia untuk tinggal bersama mereka, Dia pasti akan meneruskan perjalanan-Nya, jadi tidak ada kepura-puraan dalam hal ini. Seorang asing biasanya akan segan untuk ikut menumpang di rumah Anda atau teman Anda tanpa diundang, tetapi jika Anda memastikan bahwa Anda benar-benar ingin dia tinggal sebagai tamu, dia pasti akan segan menampik ajakan itu. Hal seperti itulah yang dilakukan Kristus saat Ia berbuat seolah-olah hendak meneruskan perjalanan-Nya. Perhatikan, orang-orang yang menghendaki Kristus untuk tinggal dengan mereka haruslah mengundang-Nya masuk dengan sungguh-sungguh. Walaupun sering kali Ia ditemukan oleh orang yang bahkan tidak mencari-Nya, namun hanya orang yang mencari saja yang dapat merasa yakin bahwa mereka akan menemukan-Nya. Dan jika Ia kelihatannya hendak menarik diri dari kita, hal itu hanyalah untuk membuat kita supaya lebih bersungguh-sungguh lagi seperti dalam kisah ini, mereka mendesak Dia. Keduanya menahan Dia dengan mendesak, tetapi ramah dan bersahabat, tinggallah bersama-sama dengan kami. Perhatikan, orang-orang yang telah mengalami sukacita dan berkat dari persekutuan dengan Kristus pasti akan terus menginginkan-Nya untuk tetap ada bersama-sama mereka lebih lama lagi, sehingga mereka pun bukan saja akan meminta-Nya untuk menemani mereka sepanjang hari, tetapi juga untuk tinggal bersama-sama mereka pada malam hari. Ketika hari terus berlanjut dan telah menjelang malam, biasanya kita ingin beristirahat, dan saat itu adalah waktu yang tepat untuk memusatkan perhatian kita kepada Kristus dan meminta-Nya supaya tinggal bersama-sama dengan kita, untuk menampakkan diri-Nya kepada kita serta untuk memenuhi benak kita dengan ingatan dan kasih kita terhadap-Nya. Kristus pun akhirnya mengabulkan permintaan mereka: Lalu masuklah Ia untuk tinggal bersama-sama dengan mereka. Demikianlah Kristus selalu siap untuk memberi bimbingan dan penghiburan yang lebih lagi kepada mereka yang selalu mengembangkan apa yang telah mereka terima. Kristus pun telah berjanji bahwa jikalau ada orang yang membukakan pintu untuk menyambut-Nya, Dia akan masuk mendapatkannya (Why. 3:20).
. Ia menampakkan diri-Nya kepada mereka (ay. 30-31). Kita dapat menduga bahwa Ia meneruskan percakapan yang telah dimulai-Nya di perjalanan mereka tadi. Sebab, engkau harus membicarakan hal-hal yang berasal dari Allah apabila engkau duduk di rumahmu dan apabila engkau sedang dalam perjalanan. Sementara makan malam disiapkan (mungkin hanya perlu sedikit waktu sebab yang dihidangkan hanyalah makanan seadanya), mungkin juga Ia terus menghibur mereka dengan perkataan yang baik dan membangun, sehingga saat mereka duduk untuk makan pun, bibir-Nya terus mengajar mereka. Sekalipun demikian, mereka tetap belum menyadari bahwa yang telah dan masih sedang berbicara dengan mereka itu adalah Yesus, sampai akhirnya Ia sendirilah yang membukakan penyamaran-Nya itu, lalu undur diri.
(1) Mereka mulai mencurigai bahwa orang itu adalah Yesus saat Ia melakukan tugas-Nya sebagai Tuan yang empunya perjamuan ketika mereka sedang duduk makan, tepat dengan cara yang selalu Ia lakukan saat masih berada di antara murid-murid-Nya, sehingga mereka pun dapat mengenali-Nya: Ia mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka. Dia melakukan hal itu dengan kuasa dan kasih yang sama, dengan gerakan dan sikap yang serupa, dengan raut wajah yang sama saat Ia sedang mengucap berkat dan membagi-bagikan roti kepada mereka. Ini adalah perjamuan makan biasa, tidak ajaib seperti yang pernah terjadi dengan lima roti dulu, dan bukan jamuan suci seperti sebuah perjamuan kudus (ekaristi). Namun demikian, dalam perjamuan yang biasa ini Kristus tetap melakukan hal yang serupa seperti yang telah Ia lakukan dalam dua perjamuan istimewa di atas untuk mengajar kita supaya menjaga persekutuan kita dengan Allah melalui Kristus dalam keseharian kita sebagaimana dalam ibadah-ibadah khusus, dan supaya mengucap berkat dan bersyukur setiap kali kita hendak makan, menyadari bahwa makanan kita sehari-hari disediakan melalui tangan Yesus Kristus, sang Guru, bukan hanya bagi keluarga yang terpandang saja, melainkan bagi setiap keluarga kita. Di mana saja kita duduk makan, biarlah kita tempatkan Kristus di bagian kepala meja, yaitu di bagian terhormat, dan menikmati hidangan kita sebagai berkat dari-Nya, serta makan dan minum bagi kemuliaan-Nya, dan bersyukur serta menerima dengan senang hati apa saja yang telah Ia sediakan bagi kita, meskipun keadaannya sederhana saja. Kita pasti dapat menerima makanan yang seadanya dengan sukacita, jika kita mengimani bahwa makanan itu tersedia melalui tangan Kristus dan disertai dengan berkat-Nya.
(2) Seketika itu juga terbukalah mata mereka, lalu mereka pun dapat melihat Dia dan mengenal-Nya dengan baik. Apa pun yang sebelum itu menjadi penghalang penglihatan mereka, kini semuanya telah diangkat dari mereka. Kabut telah menghilang, tabir telah tersingkap, dan mereka pun benar-benar yakin bahwa Dia adalah Guru mereka. Demi tujuan yang suci dan bijaksana, Dia mungkin saja telah berpura-pura menjadi orang lain, namun tak seorang pun mampu berpura-pura menjadi Dia. Karena itu, ini pastilah Dia. Lihatlah bagaimana Kristus membuat diri-Nya dikenal oleh jiwa-jiwa milik-Nya melalui Roh dan anugerah-Nya.
[1] Ia membukakan firman Allah yang merupakan kesaksian mengenai diri-Nya bagi orang-orang yang menyelidiki firman tersebut dan mencari Dia di dalamnya.
[2] Ia mendapatkan mereka di meja perjamuan-Nya, di dalam ibadah perjamuan kudus Tuhan, dan membiarkan mereka mengenali-Nya melalui cara-Nya memecah-mecahkan roti. Tetapi,
[3] Pekerjaan itu baru tuntas setelah mata pikiran mereka terbuka dan selumbar penghalang itu dicabut dari mereka, seperti yang dialami Paulus saat ia pertama kali bertobat. Jika Dia yang mewahyukan sesuatu tidak menyertainya dengan pengertian, maka kita pasti masih meraba-raba di dalam kegelapan.
. Ia menghilang dengan segera: Ia lenyap dari tengah-tengah mereka. Aphantos egeneto — Dia undur diri dari hadapan mereka, melesap dengan tiba-tiba dan menghilang dari pandangan. Atau, Dia menjadi tidak kelihatan dan tidak bisa ditangkap oleh mata mereka. Sepertinya, sekalipun Ia telah bangkit, tubuh-Nya masih tetap tubuh yang sama seperti saat Ia menderita dan mati, seperti yang ditunjukkan oleh bekas-bekas luka-Nya, tetapi kini tubuh itu telah berubah sehingga bisa menjadi tampak atau tidak tampak tergantung kebijakan-Nya, yang merupakan tahap awal diubahkannya tubuh itu menjadi tubuh yang penuh dengan kemuliaan. Segera setelah Ia membiarkan para murid-Nya memandang-Nya dalam sekejap, Ia pun lenyap. Begitulah penglihatan kita akan Dia di dalam dunia ini, hanya sebentar dan sementara saja. Kita melihat Dia, tetapi sebentar kemudian tidak dapat melihat-Nya lagi. Saat kita sampai di sorga, kita akan selalu dapat melihat-Nya sepanjang waktu.
V. Di sini diceritakan bagaimana kedua murid itu merenungkan kembali percakapan mereka dengan Kristus, serta melaporkan kejadian tersebut kepada saudara-saudara mereka di Yerusalem.
. Masing-masing merenungkan dampak perkataan Kristus terhadap diri mereka (ay. 32): Kata mereka seorang kepada yang lain, “Bukankah hati kita berkobar-kobar? Hatiku rasanya begitu,” kata yang seorang. “Begitu pula hatiku,” jawab yang lainnya. “Belum pernah aku tergugah sedalam itu oleh sebuah percakapan seperti tadi.” Dengan demikian mereka lebih menelaah gejolak di hati mereka daripada apa yang telah mereka dengar sewaktu mereka mengingat-ingat kembali firman yang disampaikan Kristus kepada mereka. Mereka merasakan kuasa firman itu meskipun mereka tidak mengenal orang yang menyampaikannya. Khotbah itu membuat segalanya menjadi jelas bagi mereka, bahkan membawa semangat dan sinar ilahi ke dalam jiwa mereka, sehingga hati mereka pun berkobar dengan bara api kudus yang menyulut kasih dan bakti dalam diri mereka. Itulah yang mereka perhatikan untuk meneguhkan iman mereka, yaitu bahwa Kristus sendirilah yang telah berbincang dengan mereka selama itu. “Betapa dungunya kita ini, sampai-sampai tidak mengenali Dia sedari awal! Padahal, tidak seorang pun, selain Dia, dan tidak ada perkataan apa pun, selain perkataan-Nya, yang mampu membuat hati kita berkobar-kobar seperti itu. Jadi, pasti itu adalah Dia, yang memiliki kuasa untuk memasuki hati orang, tidak mungkin ada orang lain yang seperti Dia.”
Lihatlah di sini:
(1) Khotbah seperti apa yang biasanya mendatangkan kebaikan — yaitu seperti yang disampaikan oleh Kristus tadi. Khotbah-Nya jelas dan sederhana, mudah dicerna sesuai dengan kemampuan kita: Ia berbicara dengan kita di tengah jalan. Khotbah-Nya berdasarkan firman Allah: Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita, yang berkaitan dengan diri-Nya. Para hamba Allah harus selalu mengarahkan jemaat kepada Alkitab dan tidak boleh menyampaikan ajaran lain selain yang tertera di sana. Mereka harus menunjukkan bahwa Alkitab merupakan sumber pengetahuan dan dasar iman mereka. Perhatikan, penjelasan firman yang menerangkan tentang Kristus biasanya mampu menggugah hati para murid-Nya, untuk membangun dan menghibur mereka.
(2) Sikap mendengar seperti apa yang biasanya mendatangkan kebaikan — yaitu yang membuat hati berkobar-kobar. Saat kita benar-benar tergugah dengan perkara-perkara tentang Allah, terutama dengan kasih Kristus yang Ia tunjukkan dengan mati bagi kita, dan kita jatuh hati kepada-Nya dan selalu memiliki keinginan kudus untuk membaktikan diri kepada-Nya, maka hati kita pun menjadi berkobar-kobar karenanya. Saat hati kita tersentuh dan tergerak seperti pijar-pijar yang menyala karena kerinduan terhadap Allah, dan dipenuhi dengan semangat yang kudus serta kebencian terhadap dosa diri kita sendiri maupun dosa orang lain, sehingga kita juga dimurnikan dan diperbarui dari dosa tersebut oleh roh yang mengadili dan roh yang membakar, saat itulah kita dapat berkata, “Demikianlah hati kita menyala-nyala karena anugerah.”
. Laporan yang mereka sampaikan kepada saudara-saudara mereka di Yerusalem (ay. 33): Lalu bangunlah mereka pada saat itu juga (bdk. KJV — ed.), sebab mereka begitu penuh dengan sukacita setelah Kristus menampakkan diri kepada mereka, sampai-sampai mereka ingin kembali ke Yerusalem secepat mungkin, bahkan tanpa menyelesaikan makan malam mereka, sekalipun hari sudah semakin malam. Seandainya pernah terpikir di benak mereka untuk tidak berurusan lagi dengan Kristus, pikiran semacam ini pun langsung menguap seketika dari kepala mereka, dan mereka langsung melaporkan kejadian itu kepada saudara-saudara mereka yang lainnya. Sepertinya, mereka tadinya bermaksud untuk menginap di Emaus malam itu, tetapi setelah melihat Kristus, mereka tidak bisa tinggal diam sebelum menyampaikan kabar baik itu kepada para murid yang lain, baik dengan tujuan untuk menguatkan iman mereka yang sempat goncang, maupun untuk membawa penghiburan bagi jiwa mereka yang sedang terkoyak, dengan penghiburan yang sama yang mereka terima sendiri dari Allah. Perhatikan, orang-orang yang mendapat kehormatan melihat Kristus menampakkan diri kepada mereka, wajib memberi tahu saudara-saudara yang lain tentang apa yang telah Ia perbuat terhadap jiwa mereka. Saat engkau menjadi percaya, dibimbing dan dihiburkan, kuatkanlah saudara-saudaramu juga. Kedua murid ini begitu dipenuhi oleh perkara tersebut dan harus menemui saudara-saudara seiman mereka untuk menularkan sukacita yang mereka rasakan itu, sekaligus untuk merayakan kebenaran bahwa Guru mereka itu memang telah bangkit.
Perhatikanlah:
(1) Bagaimana kedua murid tersebut datang mendapati murid-murid lainnya yang juga ternyata sedang membicarakan hal yang sama dan menceritakan bukti lain mengenai kebangkitan Kristus. Kedua orang itu menemukan kesebelas murid lainnya, serta teman-teman lain yang biasanya bersama-sama dengan mereka, yang sepertinya sedang berkumpul bersama-sama di malam hari untuk berdoa dan membicarakan apa yang harus dilakukan selanjutnya dalam keadaan seperti itu. Kedua orang itu mendapati mereka sedang berbincang di antara mereka (legontas, berarti di antara kesebelas murid itu, dan bukan kedua orang murid tersebut, seperti yang dijelaskan dalam teks asli). Jadi, saat kedua orang itu masuk, kesebelas murid itu mengulangi apa yang telah mereka perbincangkan dengan sukacita dan kemenangan, sesungguhnya Tuhan telah bangkit dan telah menampakkan diri kepada Simon (ay. 34). Kisah tentang Petrus yang telah melihat Kristus sebelum murid yang lain melihat-Nya juga dicatat dalam 1 Korintus 15:5, yang mengatakan, “Ia telah menampakkan diri kepada Kefas dan kemudian kepada kedua belas murid-Nya.” Sang malaikat telah menyuruh para wanita untuk memberitahukan hal itu terutama kepada Petrus (Mrk. 16:7) untuk menghibur dia, jadi sangat mungkin rasanya kalau Tuhan Yesus juga menampakkan diri-Nya kepada Petrus pada hari yang sama, sekalipun kita tidak memiliki catatan khusus mengenai hal tersebut, untuk menguatkan perkataan hamba-hamba yang diutus-Nya itu. Petrus pun telah memberitahukan hal tersebut kepada saudara-saudaranya, tetapi perhatikanlah, dia tidak berkoar-koar ataupun menggembar-gemborkannya sendiri (dia merasa hal itu tidak patut dilakukan oleh seorang yang baru bertobat dari kesalahannya), melainkan oleh para murid lain yang memberitakannya dengan penuh kegembiraan, sesungguhnya Tuhan telah bangkit, ontos — sesungguhnya. Kini hal itu tidak dapat dibantah lagi dan tidak perlu diragukan lagi, sebab Dia telah menampakkan diri tidak hanya kepada para wanita, tetapi juga kepada Simon.
(2) Bagaimana kedua murid itu memperkuat bukti tersebut dengan menceritakan apa yang telah mereka lihat (ay. 35): Kedua orang itu pun menceriterakan apa yang terjadi di tengah jalan. Semua perkataan yang Kristus ucapkan kepada mereka di sepanjang perjalanan itu disebutkan di sini sebagai apa yang terjadi di tengah jalan, sebab perkataan itu menimbulkan dampak yang begitu luar biasa terhadap diri mereka; karena apa yang Kristus katakan bukanlah omong kosong belaka, melainkan roh dan kehidupan; segala hal ajaib yang ditimbulkan oleh perkataan-Nya biasanya terjadi di tengah jalan, yaitu di tempat yang tidak terduga. Kedua orang itu juga memberi tahu murid-murid lain tentang bagaimana akhirnya mereka dapat mengenal Dia pada waktu Ia memecah-mecahkan roti, yaitu saat Dia mengucap berkat bagi mereka, dan lalu Allah pun membuka mata mereka untuk mengenali siapa Dia. Perhatikan, bagi murid-murid Kristus, saling berbagi apa yang diketahui dan dirasakan, sangatlah besar manfaatnya untuk menyingkap dan meneguhkan kebenaran.
Sumber: Tafsiran Matthew Henry Commentary (MHC)