Diakonia.id – Alkitab menunjukkan perkembangan pemikiran mengenai hal-hal ilahi. Dilatarbelakangi kebudayaan menyembah berhala, iman orang Israel berevolusi dari politeisme (menyembah banyak dewa) atau henoteisme (menyembah satu dewa tapi percaya akan keberadaan dewa-dewa lainnya; merupakan tahap yang berada antara politeisme dan monoteisme) kepada monoteisme (menyembah hanya satu ‘dewa’ yaitu Allah). Sebagaimana banyak konsep dalam Alkitab – disebabkan oleh sekian banyak penulis dan rentang waktu penulisan yang panjang – kita melihat banyaknya pandangan yang saling bergulat satu sama lain dan berevolusi menjadi cara pikir baru mengenai sifat ilahi.
Banyak orang Kristen masa kini berpikir bahwa hanya ada satu ‘suara’ (univocal) dalam Kitab Suci menyangkut sifat dari konsep metafisika yang dijelaskannya. Padahal saat berhadapan dengan konsep metafisika, kita harus mengakui sedang memandang lewat kaca yang gelap. Metafora, analogi, antropomorfisme, perumpamaan, puisi dan mitos silih berganti digunakan oleh penulis Alkitab. Saat berusaha memahami realita metafisis bahasa yang digunakan kadang jadi tidak konsisten.
Saat kita mempelajari Alkitab dalam konteks sejarah dan budaya yang melatarbelakanginya, kita akan menemukan bahwa konsep-konsep dalam Alkitab mengalami perkembangan dan evolusi seiring masuknya ‘suara’ baru ke dalamnya. Bagaimanapun Alkitab tidak ditulis oleh satu orang, tapi oleh belasan orang dalam kurun waktu ribuan tahun. Kisah keberadaan manusia, budayanya dan kesadarannya terus berkembang kepada pemahaman yang baru, dan agama tidak terkecuali.
Sifat Alkitab yang multivokal dan terus berkembang, hendaknya jangan dilihat sebagai ancaman, tapi sebagai kesaksian yang indah akan Hadirat yang membawa kita bergerak maju ke dalam kebenaran, yang berhubungan dengan kita di tempat dimana kita berada. Allah ada bersama kita dalam proses tersebut.
Dalam perjalanan dari Perjanjian Lama (Old Testament) kepada Perjanjian Baru (New Testament), kita melihat perkembangan cara manusia memandang Allah dan kesemuanya menuntun kita kepada Kristus, seperti kita bahasa di artikel sebelumnya (‘Yesus Adalah Obat Bagi Delusi Kita Tentang Allah Yang Penuh Kekerasan, Yang Kita Ciptakan Dalam Pikiran Kita Yang Menyukai Kekerasan’). Tapi ada gagasan metafisika lain yang juga berkembang dalam Alkitab, yang kita pandang sebagai lawan atau antitesis Allah, karakter yang kita sebut sebagai ‘Satan’ atau ‘Setan’.
Kita berkali-kali membaca dalam Perjanjian Baru bahwa segala sesuatu sebelum Kristus adalah bayangan – bahwa tak ada seorangpun yang melihat dan mengenal Allah sebelum Kristus – tapi Kristus menampilkan siapa Allah sesungguhnya secara utuh. Semua pewahyuan tentang Allah sebelum Kristus adalah bayangan, tetapi Kristus adalah kenyataan dan kegenapan dan kepenuhan. Manusia Yesus yang hidup, bernafas, berjalan dan bercakap-cakap itu adalah Allah yang berinkarnasi.
“Gambar Allah yang tidak kelihatan.” (Kolose 1:15)
“Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan.” (Ibrani 1:3)
“Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allahan.” (Kolose 2:9)
Kristus sendiri mengatakan, “Barangsiapa melihat Anak, telah melihat Bapa” (Yohanes 14:9). Jadi dimana saja dalam Perjanjian Lama Anda melihat pewahyuan tentang Allah yang sifatnya adalah bayangan, pewahyuan itu berkembang dan menuntun kita kepada kepenuhan pewahyuan ilahi dalam pribadi Kristus. Bukan sekedar penglihatan, bukan sekedar pencerahan, bukan sekedar tulisan yang diilhami, tapi Firman Allah yang menjadi manusia, yang pada-Nya kebenaran ini nyata, “Sebab apa yang dikerjakan Bapa, itu juga yang dikerjakan Anak” (Yohanes 5:19).
Bayangan bersifat samar-samar. Sesuatu yang bisa disalahartikan dan disalahtafsirkan. Contohnya, dalam Perjanjian Lama, umat Allah percaya bahwa Allah mengirim roh jahat atas orang tertentu untuk memperdaya atau menyiksa mereka (1 Raja-raja 22:22, 1 Samuel 16:14). Mereka percaya Allah memegang kuasa kematian dan kebinasaan atas mereka, menggunakannya atas umat manusia sesuai keinginan-Nya, persis sebagaimana bangsa -bangsa di sekitarnya memandang allah mereka. Penggunaan kuasa membinasakan ini disebut sebagai ‘murka Allah.’
Tapi dalam Perjanjian Baru, kita tak pernah melihat Yesus bermitra dengan roh jahat, sebaliknya Ia mengusir mereka keluar. Yesus menggambarkan Bapa, bukan merupakan sumber kematian dan kebinasaan, tapi sumber kehidupan. Penulis kitab Ibrani katakan iblis-lah yang menggunakan kuasa kebinasaan, bukan Allah, dan Kristus datang supaya oleh kematian-Nya Ia memusnahkan dia, yang berkuasa atas maut (Ibrani 2:14).
Dalam Kisah 10:38, dikatakan Yesus berjalan berkeliling menyembuhkan semua orang yang dikuasai iblis, karena Allah bersama Dia. Selain itu, Yohanes katakan alasan Yesus datang adalah untuk membinasakan perbuatan-perbuatan Iblis itu (1 Yohanes 3:8). Ini berarti bahwa sakit penyakit, kesengsaraan dan kematian, hal-hal yang Yesus binasakan dan bebaskan orang-orang daripadanya, adalah dari iblis, bukan dari Allah, dan alasan mengapa Yesus bisa menyembuhkan mereka ada karena Allah bersama Dia.
Lantas bagaimana? Kematian dan kebinasaan berasal dari setan atau dari Allah? Allah yang disingkapkan oleh Yesus, menentang setan dan semua pekerjaannya yang membunuh dan membinasakan juga segala penyakit dan roh jahat, … atau tidak?
Semua teologia bermuara pada pertanyaan-pertanyaan ini:
• Seperti apa Allah itu?
• Apakah Allah kadang-kadang seperti iblis?
• Apakah Allah kadang mencuri, membunuh dan membinasakan hidup manusia?
• Apakah setiap bagian Alkitab itu sama benar, ataukah Allah yang kita lihat pada Yesus menang atas segala kontradiksi yang digambarkan dalam Perjanjian Lama?
• Jika Allah adalah seperti tokoh ayah dalam perumpamaan anak yang hilang, apakah jika si anak tidak kunjung kembali sang ayah akan memburu anaknya lalu akan membunuhnya jika berhasil menemukannya?
• Apakah dosa adalah kejahatan yang membuat Allah harus menghancurkan kita, atau penyakit yang darinya Allah ingin menyembuhkan kita?
• Apakah Allah ingin memusnahkan sekaligus menyelamatkan kita?
• Apakah Allah adalah musuh sekaligus Juruselamat kita?
• Apakah Allah sedang berusaha menyelamatkan kita dari rencana-Nya sendiri untuk menghancurkan kita?
• Apakah Allah menderita skizofrenia?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami sifat keragaman dan perkembangan Kitab Suci. Salah satu aspek keragaman yang perlu dipahami adalah perkembangan konsep karakter dalam Kitab Suci yang bernama ‘setan’.
The Satan
Pada masa Perjanjian Lama, ‘setan’ adalah istilah umum untuk apapun yang sifatnya berkebalikan atau bermusuhan. Secara harfiah berarti ‘musuh’ atau ‘lawan’ (the enemy atau the adversary). Malaikat Tuhan yang berdiri di hadapan Bileam dan keledainya disebut ‘setan’ melawan Bileam (Number 22:32), Allah membangkitkan Hadad orang Edom sebagai ‘setan’ melawan Salomo (1 Raja-raja 11-14), Allah membangkitkan individu, bangsa dan makhluk roh untuk sebagai ‘setan’ untuk menjadi lawan berkali-kali (1 Samuel 29:4). Dalam hal ini ‘setan’ adalah sebutan umum atau generik bagi peran seorang musuh. Hingga hari ini, ada sebagian masyarakat tradisional Yahudi masih berpandangan bahwa ‘setan’ adalah kecenderungan jahat manusia, yang tak memiliki kekuatan kecuali melalui perbuatan jahat kita.
Kitab Ayub adalah dimana pertama kali kita menemukan kata ‘setan’ digunakan sebagai nama aktual dan menjadi karakter utama yang antagonis. Tetapi, setiap kali karakter ini disebutkan dalam kitab Ayub, selalu disertai dengan artikel ‘the’ di depannya (the satan) sebagai sebutan umum. Walaupun Alkitab bahasa Inggris membubuhkan huruf kapital dan menghilangkan artikel ‘the’ di depannya, jelas bahwa ‘the satan’ bukanlah nama personal/seseorang, karena orang Ibrani tak pernah menaruh ‘the’ di depan nama seseorang. Dan dalam teks Ibrani, ‘the’ selalu muncul di depan kata ‘satan’ di kitab Ayub tanpa kecuali.
Dalam tradisi Ibrani, semua hal, baik atau buruk, datang dari tangan Allah. Sehingga setan (the satan) menggambarkan sebagai agen pembinasa Allah, semacam jaksa penuntut yang ditunjuk oleh Allah, yang mewakili Allah memperhatikan siapa yang tidak mentaati Taurat sehingga ia bisa menuduh, menuntut dan menghukum orang yang tidak taat. Dengan demikian, musuh ini jahat begitu saja. Dia hanya memenuhi keinginan Allah untuk menghancurkan dan membinasakan. ‘Setan’ kemudian dikenal sebagai ‘si pendakwa’ (the accuser).
Pada masa itu, ‘the satan’ tidak dianggap sebagai makhluk jahat dan kejam (demonic) sebagaimana sekarang. Konsep jahat dan kejam seperti yang dianggap sekarang dulu lebih cocok dengan dewa palsu seperti Molokh dan Baal dan dewa berhala keji dan jahat lainnya yang kepada mereka orang-orang melakukan ritual ganjil dan mempersembahkan korban manusia. Pada masa itu, bahkan ular dalam kitab Kejadian belum disamakan dengan ‘setan’.
Dalam Perjanjian Baru, personifikasi atau perwujudan ‘the satan’ sebagai seorang tokoh semakin berkembang, saat tulisan-tulisan apokaliptik menjadi lebih populer dalam periode antar perjanjian seperti dalam kitab Henokh, dimana genre literatur ini umumnya memiliki penggambaran musuh utama dan personifikasi kejahatan. Dengan demikian tokoh antagonis yang secara umum disebut ‘the satan’ berevolusi menjadi nama seorang tokoh ‘Setan’ dan terlihat dalam sifat yang lebih jahat (diabolical).
Jadi dari Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru, kita melihat ‘the satan’ berevolusi dari agen Allah yang berperan sebagai antek yang melaluinya Allah melaksanakan niat-Nya untuk menghancurkan; menjadi musuh jahat Allah yang Dia datang untuk hancurkan. Yesus mempercepat penghilangan elemen ‘musuh’ dari konsep kita mengenai Allah. Yesus mendefinisi ulang pemahaman kita mengenai Allah dan menyingkapkan bahwa agen musuh yang suka membinasakan itu adalah penentang Allah, bukan berada di pihak yang sama dengan Allah. Karena Allah bukanlah pendakwa dan pembinasa umat manusia. Dia adalah Bapa dan pemberi kehidupan.
Hampir seabad kemudian, barulah ‘Setan’ mulai disamakan dengan ‘Lucifer’ yang tadinya hanya diartikan sebagai ‘bintang fajar’, yang muncul pada nubuatan mengenai raja Babel dalam Yesaya 14. Seperti halnya doktrin pengangkatan yang tidak alkitabiah [dapat dibaca pada artikel ‘10 Reasons Why The Rapture Should be Left Behind’] yang baru berkembang tahun 1800an dan cukup muda namun berhasil mengindoktrinasi begitu banyak orang Kristen dalam 200 tahun terakhir; kekuatan tradisi telah mengubah ‘bintang fajar’ yakni raja Babel, menjadi ‘Lucifer’, makhluk roh yang berasal dari masa sebelum manusia ada (pre-existence) yang ingin menjadi seperti Allah dan jatuh.
Tampaknya telah menjadi ‘fakta’ bahwa setan selama ini adalah malaikat yang jatuh karena memberontak kepada Allah pada masa sebelum penciptaan. Orang sering menyebut Wahyu 12:7-9 untuk mempertahankan gagasan bahwa setan adalah malaikat yang telah jatuh, tapi ayat itu tak ada kaitannya dengan nubuatan Yesaya 14 mengenai raja Babel, juga tidak menyebutkan kejatuhan malaikat baik manapun. Sebaliknya ayat di Wahyu itu berbicara mengenai si penyesat dan pendakwa yang dilemparkan ke bawah dan kehilangan posisinya di sorga.
Inilah yang Yesus maksudkan dengan kiasan saat Ia berkata, “Aku melihat Iblis jatuh seperti kilat dari langit” (Lukas 10:18). Ia tak sedang berbicara mengenai pemberontakan malaikat sebelum penciptaan, yang tak dapat ditemukan dimanapun dalam Kitab Suci, tapi mengenai kekalahan musuh di akhir zaman. Konteksnya jelas.
Yesus mengeluarkan pernyataan dalam Lukas 10:18 tersebut saat para murid baru saja kembali dari perjalanan pengutusan mendemonstrasikan iman dan kuasa Anak Allah:
“Tuhan, juga setan-setan [the demons] takluk kepada kami demi nama-Mu.”
~Lukas 10:17
Yesus, yang gembira melihat murid-murid-Nya berjalan dalam iman dan kuasa, menubuatkan kekalahan musuh dan semua kuasa kegelapan:
“Aku melihat Iblis/Setan jatuh seperti kilat dari langit. Sesungguhnya Aku telah memberikan kuasa kepada kamu untuk menginjak ular dan kalajengking dan kuasa untuk menahan kekuatan musuh, sehingga tidak ada yang akan membahayakan kamu. Namun demikian janganlah bersukacita karena roh-roh itu takluk kepadamu, tetapi bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di sorga.”
~Lukas 10:18-20
Yesus semakin bersukacita dan bergembira, dan memuji Bapa yang mencapai kemenangan-Nya, melalui iman anak-anak:
Pada waktu itu juga bergembiralah Yesus dalam Roh Kudus dan berkata: “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang [anak] kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu.”
~Lukas 10:21
Yesus melanjutkan bagaimana kemenangan atas kuasa kegelapan ini terjadi lewat pewahyuan tentang Bapa dan tentang Anak:
“Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku. Tak seorang pun yang mengenal siapa Anak selain Bapa, dan tak seorang pun yang mengenal siapa Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakan hal itu.”
~Lukas 10:22
Puncak kegembiraan Yesus karena setan dan kuasa kegelapan dilemparkan ke bawah lewat anak-anak Allah adalah ketika Ia mengatakan betapa berbahagianya para murid bisa melihat apa yang mereka lihat hari itu:
Sesudah itu berpalinglah Yesus kepada murid-murid-Nya tersendiri dan berkata: “Berbahagialah mata yang melihat apa yang kamu lihat. Karena Aku berkata kepada kamu: Banyak nabi dan raja ingin melihat apa yang kamu lihat, tetapi tidak melihatnya, dan ingin mendengar apa yang kamu dengar, tetapi tidak mendengarnya.”
~Lukas 10:23-24
Deklarasi Yesus “Aku melihat Iblis/Setan jatuh seperti kilat dari langit” adalah deklarasi profetik dari kejatuhan keberadaan kuasa kegelapan melalui pewahyuan tentang Bapa dan Anak, yang juga adalah pewahyuan posisi manusia sebagai anak Allah (humanities sonship).
Evolusi Setan
Sebagaimana telah kita lihat, kesaksian alkitabiah menyangkut ontologi ‘the satan’ dan roh-roh jahatnya tidak selalu konsisten. Kebanyakan lebih menyerupai mitos yang bertujuan menjelaskan sesuatu yang tidak kita pahami. Tidak secara harfiah. Kata ‘mitos’ tidak berarti sesuatu itu tidak benar. Tapi menunjukkan bagaimana suatu cerita atau perumpamaan dibuat untuk bisa masuk ke dalam level konsep pemahaman kita mengenai suatu realita yang lebih tinggi namun belum kita pahami.
‘Setan’ (atau musuh) bukanlah mitos – kita semua mengalami pengalaman kuasa gelap yang melawan atau menghadang kita di dunia ini. Memang mungkin saja beberapa cerita mengenai keberadaan makhluk kosmis jahat adalah mitos, dengan memakai perwujudan dan kekuatan narasi untuk menunjukkan kenyataan kehadiran makhluk kosmis jahat tersebut, elemen dakwaan dan permusuhannya, dan takdir ia akan dikalahkan.
Bagi saya, gagasan ontologi ‘the satan’ tidaklah sepenting itu. Apapun makhluk jahat kosmis itu, kita percaya mereka eksis, dan cara terbaik untuk melawannya adalah dengan mengikut Yesus.
Namun, jarangnya setan disebut sepanjang Perjanjian Lama adalah dinamika penting untuk memahami pewahyuan yang semakin berkembang. Sekalipun Perjanjian Lama lebih besar daripada Perjanjian Baru, tokoh yang disebut ‘the satan’ hanya disebutkan 19 kali dan bukan sebagai pribadi, tapi dengan artikel ‘the’, menunjukkan perannya sebagai musuh. Empat belas kali diantaranya terdapat dalam kitab Ayub, karena ‘the satan’ memegang peranan penting dalam kisah Ayub. Artinya, di luar kitab Ayub, ‘the satan’ hanya disebutkan lima kali dan itupun hanya sebagai gelar yang diberikan kepada musuh. Saat tokoh ini muncul, ia selalu menjadi ‘pesuruh’ Allah untuk melakukan penghancuran, sebagai bagian dari ‘dewan musyawarah TUHAN’ (lihat Yeremia 23:18).
Contohnya adalah dua catatan Alkitab tentang dosa Daud menghitung pasukannya. Yang satu menyebut Allah sebagai penghasut Daud (2 Samuel 24), dan yang satu lagi menyebut ‘the satan’ yang menghasut Daud (1 Tawarikh 21). Bagi orang Israel, tak ada bedanya. Semua perilaku merusak dikaitkan dengan Allah, bahkan kadang secara spesifik menyebut ‘musuh’ yaitu ‘the satan’ sebagai malaikat atau pesuruh yang ditugasi untuk melakukan pemusnahan atau penghancuran yang Allah putuskan untuk dilakukan.
Hal ini menunjukkan bagaimana kadang orang Israel memandang murka Allah sebagai sinonim ‘the satan’. Perhatikan kedua ayat ini:
Bangkitlah pula murka Tuhan terhadap orang Israel; Ia menghasut Daud melawan mereka, firman-Nya: “Pergilah, hitunglah orang Israel dan orang Yehuda.”
~2 Samuel 24:1
Iblis bangkit melawan orang Israel dan ia membujuk Daud untuk menghitung orang Israel.
~1 Tawarikh 21:1
Satu kejadian yang sama, dua penyebab yang berbeda. Apakah ini kesalahan penulisan? Ataukah ini adalah contoh perspektif umum orang Israel bahwa ‘the satan’ adalah sinonim murka Allah?
Hal ini bukanlah contoh kekaburan kecil dalam teks, tapi contoh jelas perspektif Perjanjian Lama secara umum mengenai Allah. Ada banyak contoh lain dimana orang Israel menghubung-hubungkan banyak hal dengan ‘TUHAN’ karena percaya TUHAN berada di balik segala sesuatu. Jika ‘the satan’ melakukan sesuatu, itu pasti ‘TUHAN’ yang menyuruhnya.
Contoh lain, mari kita lihat kembali kitab Ayub. Diceritakan ‘the satan’ datang menghadap Allah dan melakukan perbincangan dengan Allah mengenai seorang manusia bernama Ayub, salah satu hamba Allah yang saleh dan jujur. ‘The satan’ membujuk Pencipta untuk melakukan taruhan kosmis untuk melihat apakah Ayub benar-benar takut akan Allah atau tidak.
Dimana dalam cerita ini ada penguasa kegelapan, musuh jahat terbesar Allah, yang penuh dengan tipu daya dan dusta, yang Yesus sebut Dia kalahkan dengan kedatangan-Nya? Tidak ada. Allah dengan santai bertaruh dengan ‘the satan’ dan sudah, itu saja. Itu karena dalam kisah ini dan pada masa itu, ‘the satan’ tidak dianggap sebagai musuh Allah. Dia semata-mata digambarkan sebagai mekanisme permusuhan yang memenuhi tujuan permusuhan Allah.
Pada Perjanjian Baru, sebaliknya, ‘Satan’ atau Setan menjadi nama aktual tanpa artikel ‘the’ di depannya dan berkembang dalam pemahaman orang Israel menjadi musuh jahat Allah, dan memegang peranan penting dalam setiap kitab (disebutkan 100an kali). Setan kini selalu ditampilkan sebagai penentang yang melawan Bapa dan yang Yesus datang untuk binasakan. Sepanjang hidup-Nya Yesus sepenuhnya melawan tokoh bernama Setan dan segala perbuatannya.
Evolusi konsep ‘the satan’ merefleksikan evolusi konsep mengenai sifat Allah. Karena dalam Perjanjian Baru sifat buruk tidak lagi bisa dikaitkan dengan Allah (karena Allah tak mungkin menjadi musuh sekaligus Juruselamat kita) maka tiba-tiba, muncul sosok supernatural yang merupakan perwujudan segala kejahatan yang disebutkan ratusan kali sepanjang Perjanjian Baru.
Coba pikirkan sejenak. Perjanjian Lama merupakan 2/3 dari Alkitab dan mencakup ribuan tahun sejarah Israel, sementara Perjanjian Baru merupakan 1/3 Alkitab dan seluruhnya ditulis dalam rentang waktu beberapa dekade.
Kendati ‘the satan’ disebutkan hanya 19 kali dalam Perjanjian Lama (14 kali dalam kitab Ayub), tokoh lain seperti the angel of the Lord (diterjemahkan Alkitab TB-LAI sebagai Malaikat TUHAN, misalnya dalam Bilangan 22:25 New International Version), the angel of death (diterjemahkan Alkitab TB-LAI sebagai pemusnah, dalam Keluaran 12:23 Good News Bible), the angel of destruction (diterjemahkan Alkitab TB-LAI sebagai pasukan malaikat yang membawa malapetaka dalam Mazmur 78:49 New King James Version), dan the destroyer (diterjemahkan Alkitab TB-LAI sebagai pemusnah, misalnya dalam Yeremia 48:8 New International Version) juga digunakan untuk menggambarkan ‘sifat’ permusuhan Allah. Kitab Suci kadang mengatakan “Datangnya sebagai pemusnahan dari Yang Mahakuasa” (Yesaya 13:6), atau “Roh jahat yang dari pada Allah” (1 Samuel 18:10), tetapi kemudian mengaitkannya dengan malaikat atau pemusnah saat perbuatan tersebut dilaksanakan.
Seiring waktu, literatur Yahudi juga mulai mengidentifikasi ‘Malaikat TUHAN’ atau pemusnah yang menjalankan rencana penghancuran yang Allah tetapkan sebagai ‘the satan’. Perjanjian Lama tidak membedakan TUHAN dan ‘the satan’ dan semua pencurian, pembunuhan dan pembinasaan dikaitkan dengan Allah.
Yesus datang dan menyingkapkan bahwa Abba-Nya tidak pernah mencuri, membunuh dan membinasakan. Tapi hanya untuk memberi hidup. “Untuk inilah Anak Allah menyatakan diri-Nya, yaitu supaya Ia membinasakan perbuatan-perbuatan Iblis itu” (1 Yohanes 3:8).
“Umat Perjanjian Lama secara keliru menyertakan Setan dalam pemahaman mereka tentang Allah. Setiap kali ada pencobaan, penghancuran, murka, dan kematian -semua kegiatan yang kemudian Perjanjian Baru sebut sebagai perbuatan Setan- Perjanjian Lama selalu mengaitkannya dengan Allah sendiri. Mereka tidak berdoa untuk melawan tipu muslihat setan, sebagaimana yang diperintahkan Perjanjian Baru, tapi memohon agar Allah menangguhkan tangan murka-Nya. Setan tak termasuk dalam persamaan sebab-akibat mereka. Allah-lah SATU-SATUNYA penyebab hal baik maupun buruk.
Perjanjian Baru, sebaliknya, MEMBEDAKAN identitas Allah dan Setan sama sekali. Apa yang dulu tergabung dalam satu konsep dalam Perjanjian Lama, dibedakan dan diputuskan sepenuhnya dalam Perjanjian Baru. Yesus, tak diragukan lagi, adalah PEMBEDA MUTLAK gambaran Allah dengan gambaran Setan. Yesus adalah api pemurnian yang menghanguskan semua hal-hal buruk yang Perjanjian Lama kaitkan dengan Allah, memisahkannya dengan sifat Allah yang murni dan sempurna. Singkatnya, penggambaran Setan Perjanjian Lama tak memiliki pencerahan Perjanjian Baru. Sehingga Perjanjian Lama sering mencampuradukkan Allah dan Setan, yang menghasilkan kebingungan siapa sumber sejati ‘murka’. Saat kita SEKARANG memasukkan Setan ke dalam ayat-ayat Perjanjian Lama yang berisi penghancuran, barulah kita bisa memahami dengan benar apa yang Yesus lakukan dan apa yang Setan lakukan. Memahami hal ini dengan benar akan memerdekakan pikiran dan pemahaman kita tentang Perjanjian Lama.”
~Richard Murray, ‘Satan: Old Testament Servant Angel or New Testament Cosmic Rebel?’
Penulis Stephen Harris menulis bahwa Setan Perjanjian Lama bukanlah oknum yang sama dengan Setan Perjanjian Baru:
“[Dalam Perjanjian Lama] figur ‘the Satan’ bertindak sebagai mata-mata dan jaksa penuntut Yahweh yang tugasnya adalah membawa ketidaktaatan manusia kepada Yahweh dan -bila memungkinkan- membujuk-Nya untuk menghukum ketidaktaatan itu. Sepanjang Perjanjian Lama ‘the Satan’ berada di antara ‘anak-anak’ Allah, yang melayani sebagai petugas administratif Allah dan menunjukkan sisi lain kepribadian-Nya.
Pada awalnya, beberapa penulis Alkitab memandang semua hal, baik dan buruk, berasal dari sumber yang sama: Yahweh. Kepercayaan atau kredo monoteistik Israel yang kuat menyatakan hanya Yahweh sajalah penyebab baik kebahagiaan dan penderitaan, kemakmuran dan penghukuman (Ulangan 28). Alkitab resmi Ibrani hanya memberi sedikit ruang dan kuasa bagi ‘the Satan’. Jika dalam Perjanjian Lama ia tak dapat melakukan apapun tanpa ijin Yahweh, dalam Perjanjian Baru ia bertindak sebagai kekuatan yang independen yang bersaing dengan Sang Pencipta.
Menurut Injil Markus, tujuan utama kedatangan Yesus adalah meniadakan kerajaan Setan dan cengkeramannya (dan roh jahat bawahannya) atas manusia. Sehingga Markus menekankan pekerjaan Yesus mengusir iblis dan membebaskan orang-orang yang dirasukinya. Perjanjian Baru -sangat berbeda dengan Perjanjian Lama- menunjukkan Setan dan iblis adalah satu kejahatan kosmis yang benar-benar menentang Allah Pencipta. Si jahat ini adalah sumber segala dusta, dosa, penderitaan, sakit penyakit dan kematian.”
[Understanding the Bible , A Readers Introduction halaman 26-28]
Ensiklopedia International Standard Bible yang terkenal sepenuhnya sepakat dengan apa yang ditulis Stephen dalam catatannya mengenai Setan:
“Perjanjian Lama tidak memiliki doktrin yang telah berkembang sepenuhnya tentang Setan seperti yang dimiliki Perjanjian Baru. Perjanjian Lama tak menganggap Setan sebagai pimpinan kerajaan yang berkuasa dan yang murtad dari keluarga Allah.
Pernyataan jelas mengenai Setan banyak ditemukan dalam Perjanjian Baru menjadi suatu fakta penting. Terang pewahyuan Kristen dibutuhkan untuk menyingkapkan musuh yang mengintai dalam keremangan namun yang belum diketahui dalam pewahyuan sebelumnya.
Dalam tahapan awal pemikiran agama tampaknya sulit, bahkan mustahil, untuk menerima kedaulatan Allah tanpa mengaitkannya dengan pesuruh-Nya yang berhubungan langsung dengan penghakiman dan penghukuman.”
Sarjana Jeffrey Burton Russel, yang menulis sejumlah karya tulis mengenai perkembangan sejarah pemahaman kita tentang Setan, menulis alasan orang Israel mula-mula menganggap Setan sebagai pelayan Allah sebagai berikut:
“Karena Allah Israel adalah satu-satunya Allah, kekuasaan tertinggi di alam semesta dan berbeda dengan dewa Yunani yang abstrak, Ia memiliki kepribadian dan kehendak, tak ada yang terjadi di luar kehendak-Nya. Hasilnya, saat seseorang yang melanggar standar moralitas, Allah bertanggungjawab atas pelanggaran tersebut sekaligus atas hukuman atas pelanggaran tersebut.”
~The Prince of Darkness: Radical Evil and Power of God in History halaman 29-30
Lalu,
“Pekerjaan setan dalam kitab Ayub adalah sebagai petugas dalam dewan musyawarah ilahi (mungkin opsir penuntut umum). Tugasnya adalah lari kesana kemari di bumi untuk melihat siapa yang taat dan siapa yang tidak kepada Yahweh. Saat ia menemukan orang yang tidak taat kepada Yahweh (yang artinya orang itu berada di bawah murka Yahweh), ia akan ‘mendakwa’ orang tersebut. Ini yang kita lihat di kitab Ayub dan Zakharia pasal 3. Intinya, setan tidak jahat, dia hanya melakukan pekerjaannya. Seiring waktu, gagasan mengenai ‘musuh Allah’ disematkan kepada ‘nâchâsh’ atau si ular di Eden, oknum yang ingin menentang rancangan Allah. Oknum ini kemudian digelari ‘Setan’, musuh besar Allah (atau disebut juga ‘the Devil’, Iblis). Hal ini adalah contoh bagus bagaimana sebuah gagasan dalam agama Israel diterapkan dalam berbagai cara sepanjang perkembangan pewahyuan.”
~Michael Sheiser, ‘The Naked Bible: Biblical Theology Stripped Bare of Denominational Confessions and Theological Systems’
“Aku Datang Untuk Memberi Mereka Hidup” (Yohanes 10:10)
Kepercayaan penyembahan berhala (pagan beliefs) pada saat itu mempengaruhi pemikiran Ibrani, karena bagaimanapun, bangsa Yahudi berasal dari kebudayaan ini. Saat Yudaisme berubah dari henoteisme menjadi monoteisme, segala hal buruk yang tadinya dijelaskan sebagai ‘sisi lain Allah’ (sebagai bagian murka-Nya); berevolusi menjadi ‘the satan’ yang adalah bagian ‘dewan musyawarah ilahi’ yang adalah penuntut umum Allah, yang adalah alat Allah untuk mencobai orang agar melanggar Taurat lalu melaporkannya kepada Allah agar bisa dihukum dan dimusnahkan. Karakter ini dinamai ‘pendakwa’. Pandangan ini kemudian berevolusi lagi -sejalan dengan perkembangan pemahaman orang Israel akan Allah- memisahkan karakter jahat dari Allah dan memunculkan karakter baru dengan kehendak independen yang terang-terangan menentang Allah.
Karakter penentang Allah ini lalu disebut ratusan kali dalam 1/3 Alkitab yang ditulis dalam rentang beberapa puluh tahun. Seiring semakin jelasnya karakter baik Allah terlihat, dan segala yang jahat tidak bisa lagi dikaitkan dengan Allah, ini menimbulkan pemikiran bahwa sumber segala kejahatan dan kematian di dunia pastilah sesuatu yang lain.
Ini memberi kita jeda. Apa yang kita temukan dalam hidup Yesus? Kita menemukan etika menolak kekerasan yang jelas dan konsisten, kasih terhadap musuh, pembawa damai dan rekonsiliasi/pendamaian; kita menemukan bahwa Ia datang membawa hidup dan bahwa Ia adalah gambar Abba-Nya. Ya, kita menemukan peringatan akan konsekuensi dosa yang merusak diri kita sendiri, tapi konsekuensi ini tidak datang dari Abba-Nya. Yesus menyatakan diri-Nya sebagai gambaran Bapa, dan tak ada kekerasan dan kehancuran ditemukan dalam tindakan Allah saat Ia masuk ke dalam sejarah dalam bentuk darah dan daging Sang Anak.
Perhatikan perikop berikut:
Tetapi Roh Tuhan telah mundur dari pada Saul, dan sekarang ia diganggu oleh roh jahat yang dari pada Tuhan. Lalu berkatalah hamba-hamba Saul kepadanya: “Ketahuilah, roh jahat yang dari pada Allah mengganggu engkau; baiklah tuanku menitahkan hamba-hambamu yang di depanmu ini mencari seorang yang pandai main kecapi. Apabila roh jahat yang dari pada Allah itu hinggap padamu, haruslah ia main kecapi, maka engkau merasa nyaman.”
~1 Samuel 16:14-16
Kita tahu bagaimana selanjutnya setiap kali Daud memainkan kecapi bagi Saul -dengan urapan Tuhan- Saul merasa lega dan nyaman, dan roh yang jahat itu undur dari padanya. Kita lihat bahwa Allah menyiksa Saul dengan roh jahat, dan Daud dengan urapan Allah ikut campur dalam rancangan penyiksaan Allah dan mengusir roh jahat yang Allah kirim. Daud, dengan urapan Allah, melawan apa yang sedang Allah kerjakan.
Kembali kepada pemahaman orang Israel mengenai Allah versus apa yang Yesus tunjukkan. Orang Israel menerima hanya sebagian dan tidak semua pewahyuan tentang karakter Allah. Allah kebenaran yang menginginkan orang hidup dalam kebenaran, mengirim roh jahat untuk menyiksa orang (gambaran yang mengatakan Allah mengirim roh jahat untuk menyiksa orang juga ditemukan dalam 1 Raja 22:22)? Yesus menunjukkan sebaliknya. Yesus menyingkapkan bahwa Allah tidak seperti yang digambarkan oleh Perjanjian Lama, yang menganggap segala sesuatu asalnya dari Allah. Yesus menunjukkan bahwa Allah adalah lawan dari kejahatan, kekacauan, penghancuran, tipu daya, pembalasan, roh jahat, dll, yang dalam Perjanjian Lama hal-hal ini dikaitkan dengan Allah.
Apa yang kita lakukan bukan “membuang bagian Perjanjian Lama.” Yang kita lakukan adalah membaca Alkitab dengan hati-hati dengan Yesus sebagai fokus. Perjanjian Lama penuh dengan tanda arah yang menunjuk kepada Kristus. Pewahyuan mengenai siapa Allah yang Yesus bawa sungguh-sungguh penting. Allah dengan sadar masuk ke dalam sejarah manusia, dalam darah dan daging Yesus, menyingkapkan secara paripurna seperti apa Dia sebenarnya.
Jika dalam Perjanjian Lama orang Israel memandang Allah sebagai pihak yang menyiksa manusia dengan roh jahat, dalam Perjanjian Baru kita melihat Yesus mengusir roh jahat keluar dari orang-orang yang dirasukinya. Dalam Perjanjian Lama orang Israel memandang ‘the satan’ sebagai pesuruh setia yang memusnahkan dan menghancurkan sesuai rencana yang Allah buat, dalam Perjanjian Baru ‘the satan’ diperlihatkan sepenuhnya melawan kehendak Bapa dan merupakan lawan yang Yesus datang untuk usir dan hancurkan.
Yesus memperlihatkan ‘the satan’ sama sekali bukan ekspresi murka Allah, yang melakukan pekerjaan kotor Allah, tapi adalah murni antitesis Allah yang Yesus datang untuk memusnahkannya. Yesus berkata Allah adalah Allah yang memberi kehidupan, bukan yang mencuri, membunuh dan membinasakan. Yesus menghabiskan seluruh pelayanan-Nya memusnahkan perbuatan iblis dan puncaknya adalah saat Ia berkata, “Sekarang berlangsung penghakiman atas dunia ini: sekarang juga Aku melemparkan penguasa dunia ini ke luar” (Yohanes 12:31). Hal ini menegaskan seperti apa kematian yang akan dialami-Nya. Semua yang Yesus lakukan berkontradiksi dengan perbuatan si perusak yang jahat itu, dan hal ini menyingkapkan Allah dengan sempurna.
Dalam Yesus, kita melihat penyingkapan karakter Allah yang sempurna karena Ia sepenuhnya memisahkan pemikiran tentang Allah dengan pemikiran tentang ‘the satan’ sehingga kedua belah pihak berdiri berseberangan. Allah bukanlah si pendakwa, atau musuh umat manusia. Allah adalah Juruselamat umat manusia.
Kita lanjutkan dalam artikel berikutnya.
[Jacob Wright: The Real, Biblical Satan is Not At All What You Think; March 26, 2016]
(Mona Yayaschka/dailygracia)