Terlambatnya Imbauan Toleransi Presiden Indonesia

59
SHARES
312
VIEWS

Diakonia.id –  Kegagalan Jokowi Melawan Diskriminasi Membahayakan Minoritas. Hal ini bertolak belakang dengan Pidato Kenegaraan Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo dalam beberapa kesempatan: Ia menghimbau tentang pentingnya toleransi.

“Saya yakin jika masyarakat Indonesia ingin tetap bersatu, toleran, dan peduli terhadap sesama anak bangsa, maka Indonesia bukan lagi hanya nama atau gambar rangkaian pulau di peta dunia, melainkan sebuah kekuatan yang dihormati oleh negara lain di dunia,” kata Jokowi.

Keterangan itu, dalam sebuah pidato yang didominasi ungkapan-ungkapan bergelora tentang komitmen pembelanjaan infrastruktur dan proyeksi-proyeksi pertumbuhan ekonomi, menunjukkan pengakuan publik yang langka–meski ambigu–atas ancaman dan diskriminasi yang semakin parah terhadap kelompok-kelompok minoritas seksual dan keagamaan di Indonesia. Kelompok minoritas keagamaan adalah yang paling rentan, karena ada pasal penodaan agama yang mematikan. Korban terakhir pasal itu adalah perempuan penganut Buddha yang terancam hukuman penjara hingga 18 bulan hanya karena mengeluhkan volume pengeras suara masjid dekat tempat tinggalnya.

Lonjakan retorika anti-LGBT oleh para pejabat pemerintah sejak 2016, juga upaya-upaya mengkriminalisasi hubungan sesama jenis, berkaitan dengan memburuknya epidemi HIV nasional. Himbauan toleransi Jokowi jadi semakin mengesankan mengingat selama ini ia memalingkan muka dari diskriminasi LGBT serta peran sejumlah pejabat pemerintah dalam mengobarkannya.

Jokowi juga memanfaatkan pidato itu untuk menyatakan kembali janji lamanya untuk “menuntaskan kasus-kasus pelanggaran hak asasi di masa lalu serta memperbaiki perlindungan HAM agar hal serupa tak terjadi di kemudian hari.” Namun, Jokowi tak menguraikan rincian atau rencana apa pun tentang resolusi tersebut.

Acuan pertama Jokowi kepada toleransi dalam Pidato Kenegaraan tahunan mungkin menunjukkan pengakuan bahwa ia telah gagal mewujudkan dukungan retorisnya kepada hak asasi ke dalam inisiatif-inisiatif kebijakan yang berarti. Atau, ia bermaksud menanggapi kritik-kritik para aktivis HAM terhadap keputusannya memilih Ma’ruf Amin, seorang ulama konservatif yang sangat berperan mengobarkan diskriminasi terhadap minoritas keagamaan dan gender, sebagai wakilnya.

Kini, Jokowi ditantang untuk membuktikan retorika toleransinya menjelang berakhirnya masa jabatannya dengan kebijakan-kebijakan substantif yang akan melindungi kelompok masyarakat yang rentan dan menyeret para pelanggar hak-hak asasi ke hadapan keadilan. (Phelim Kine/HRW)

Next Post

Comments 1

  1. Gandhi Waluyan says:

    Saya lihat meningkatnya “rasa” intoleransi dari para kelompok mino adalah terlalu memaruh harapan yg tinggi terhadap jokowi. Memang “rasa” intoleransi ini terasa semakin kuat sejak jokowi berkuasa. Kenapa? Para kelompok minoritas ini secara terang2 mendukung jokowi dg segala eforianya. Merasa jokowi akan membela mereka dg “memerangi” kelompok lawan mereka yg mayo. Mereka (kelompok mino) sdh meninggal kan budaya “taudirinya” dan budaya “menahandirinya” mereka sdh sangat berani berteriak mengejek kelompok mayo dg sebutan merendahkan misalnya Kadrun dll.
    Dulu mereka sebagai pendatang dg sukarela mendengar azan 5X sehari. Skrg mrk sdh berani mengekspresikan ketidak sukaan kpd kebiasaan lama penduduk setempat bahkan sebelum mrk datang yg mengumandangkan azan dg alasan toleransi. Lalu ketika diproses hukum mrk menuntut pembenaran.
    Inti dr semua ini supaya damai, adalah “taudiri” dan “menahandiri” kelompok manapun. Mino taudiri mayo pasti menahandiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Berlangganan

Daftarkan emailmu untuk mendapatkan notifikasi artikel terbaru Diakonia Indonesia melalui email

Join 1 other subscriber

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.