Diakonia.id – Tokoh masyarakat Papua, John Jonga menilai memanasnya konflik antara pemerintah Indonesia dan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua baru bisa ditanggulangi jika kedua pihak menahan diri dan membuka ruang dialog.
John mengatakan pemerintah maupun Organisasi Papua Merdeka (OPM) harus saling membenahi diri atas langkah keduanya yang dinilai berdampak pada panasnya konflik di Papua.
“Dua-duanya harus dibenahi. (…) Semua itu (konflik) terjadi, karena ruang dialog dan ruang diskusi tidak terbuka,” kata John.
Ia menjelaskan duduk perkara dari konflik yang ada di Papua sesungguhnya karena Jakarta tidak memahami ideologi yang diperjuangkan oleh masyarakat Papua.
John mengatakan ideologi dan keinginan untuk merdeka sudah “mendarah daging” pada sebagian masyarakat Papua. Dalam hal ini, penanggulangannya tidak bisa dengan pendekatan keamanan.
Namun di sisi lain, kata dia, tindakan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) juga memaksa pemerintah mengerahkan kekuatan militer.
“Memang tindakan OPM membabi buta juga. Masyarakat sipil yang [menjadi korban], ada seperti guru, pelayan gereja. Mereka (OPM) melihat mereka (korban) tugasnya bukan membangun Papua. Tapi mereka (korban) itu memata-matai atas perintah pemerintah,” kata John.
Padahal, sambung John, hal tersebut belum tentu kebenarannya. Sehingga ketika ada masyarakat sipil yang menjadi korban KKB, pemerintah menilai TPNPB-OPM telah membahayakan masyarakat sipil.
Sementara, ia menduga OPM sendiri menilai yang mereka lakukan ketika mengorbankan masyarakat sipil bukan aksi terorisme. Melainkan aksi perjuangan meraih kemerdekaan.
Namun begitu, ia menilai bukan berarti pemerintah bisa langsung memutuskan OPM sebagai kelompok teroris. Menurut dia, OPM adalah kelompok masyarakat yang menginginkan kemerdekaan.
John mengatakan hal ini seharusnya dicari solusinya dengan membuka ruang dialog dan menawarkan solusi atas permintaan Papua. Misalnya dengan membentuk Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR) untuk mengusut kasus-kasus di Papua dengan transparan dan adil.
“Orang Papua [yang ingin merdeka menilai], ya kalau bertahun-tahun militer dan pemerintah Indonesia membunuh orang Papua, apa itu etis? Sementara ketika orang Papua berdiri dan mempertahankan tanahnya, lalu disebut teroris,” tambah dia.
Sebelumnya, Dewan Diplomatik OPM Amatus Akouboo Douw menyatakan pihaknya akan menyerukan pemusnahan warga Jawa dan pemukim Indonesia yang merebut tanah Papua jika pemerintah terus melakukan dugaan genosida terhadap masyarakat di sana.
“Jika Indonesia melanjutkan program teror dan genosida terhadap penduduk sipil Papua Barat (seperti yang terjadi selama hampir 60 tahun) dan masyarakat internasional tidak melakukan intervensi,” kata dia.
“Pejuang kemerdekaan TPNPB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat) OPM akan mengumumkan kampanye memusnahkan tidak hanya militer Indonesia yang menduduki [Papua] secara ilegal, tetapi juga orang Jawa ilegal dan pemukim Indonesia lainnya yang semakin mencuri tanah suci dan sumber daya orang Papua Barat,” lanjutnya.
Sementara Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengumumkan secara resmi bahwa pemerintah telah menetapkan OPM sebagai organisasi teroris, tak lama setelah penembakan Kepala Badan Intelijen Nasional Daerah Papua Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha.
Sehari sebelumnya, Kepala Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III TNI, Kol Czi IGN Suriastawa menyatakan KKB OPM patut dibasmi atau dibabat habis.
Ia mengatakan jika OPM tidak ingin dibasmi oleh militer Indonesia, maka ia menghimbau agar seluruh anggota organisasi tersebut menyerahkan diri.
“Dibabat habis, dibasmi sampai ke akar-akarnya,” kata Suriastawa .