Oleh: Harry Puspito
Kita sudah membahas 4 dari 7 dosa maut, yaitu kesombongan, kemarahan, ketamakan dan kemalasan. Pada kesempatan tulisan sekarang, kita akan membahasa dosa maut lain, yaitu iri hati atau dalam Bahasa Inggris ‘envy.’
Alkitab penuh dengan kisah dosa iri hati. Adam dan Hawa iri dengan kemahatahuan Allah, dan akhirnya jatuh dalam dosa melanggar perintah-Nya untuk tidak memakan buah pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Kain iri terhadap Habil karena Tuhan menerima korbannya, sehingga Kain kemudian melakukan dosa lain, yaitu membunuh adiknya itu. Saudara-saudara Yusuf iri terhadap dia karena Yakub menunjukkan lebih menyayangi adik mereka itu, dan dengan mimpi-mimpinya dan kemudian mereka menjual Yusuf dan sehingga dia menjadi budak di Mesir. Saul iri kepada Daud yang berhasil membunuh Goliat dan banyak musuh Israel sehingga rakyat memuji-muji dia lebih dari Saul. Karena iri, Saul mencoba membunuh Daud berkali-kali.
Dalam Perjanjian Baru, dikisahkan Herodes yang iri dengan ‘pemimpin baru’ yang dipertanyakan oleh Orang-orang Majus. Kemudian dia memerintahkan pembunuhan anak-anak berusia di bawah dua tahun, untuk memastikan Sang Pemimpin yang mengancam posisinya itu ditiadakan. Orang-orang Farisi dan Ahli Taurat iri kepada Yesus karena pengajaran dan pelayanan-Nya disambut rakyat dan mereka kemudia menyalibkan Dia.
Alkitab bahkan juga menjelaskan asal-usul musuh manusia, Iblis, yang semula adalah malaikat, tapi karena iri terhadap kekuasaan Allah; mereka memberontak kepada-Nya dan ini dosa yang membawa kepada kejatuhan mereka. Mereka iri kepada manusia yang mendapatkan kasih Allah dan terus-menerus berusaha menipu manusia dan menjadikan manusia tidak mengenal dan memusuhi Allah.
Iri hati sudah menjadi natur dosa manusia. Setiap orang memilikinya. Manusia berdosa hidup dengan iri hatinya. Iri terjadi karena manusia adalah mahluk sosial, yang bergaul dengan sesama dan tidak terhindarkan mereka membandingkan diri mereka dengan sesama mereka. Ketika orang lain memiliki kelebihan, ada orang yang bisa bersyukur dengan apa yang mereka telah miliki dan menghargai orang lain; tapi, lebih mudah orang iri dengan apa yang dimiliki sesamanya itu. Kita bisa iri dengan ketika orang lain memiliki rumah, mobil, penampilan, prestasi, pekerjaan, pasangan, sukses, dan bahkan talenta dan pelayanan yang kita pandang lebih dari yang kita miliki.
Pada era digital ini, sosial media, seperti Facebook, Instagram, dsb menampilkan ‘trigger’ iri hati yang lebih besar lagi. Orang menampilkan ‘best moment’ mereka disana – perjalanan ke luar negeri, wisuda, pernikahan yang wah, menerima beasiswa, mendapatkan penghargaan, mendapatkan proyek besar, dsb, dsb. Sehingga dapat dipastikan manusia jaman ‘now’ ini akan semakin rentan terhadap salah satu dari Tujuh Dosa Maut ini, yaitu iri hati terhadap sesama.
Kamus mendefinisikan iri sebagai suatu emosi, yaitu perasaan tidak puas atau rasa ingin terhadap kelebihan orang lain seperti harta, posisi, prestasi, nama, perhatian, kekuasaan, kebahagiaan mereka. Namun Alkitab menegaskan iri hati bukan sekedar suatu emosi negative tapi adalah suatu dosa, yang bahkan oleh Bapa Gereja dikategorikan dalam ‘dosa maut.’ Menurut Alkitab jelas iri hati itu tidak rohani (1 Kor 3:3), dari kedagingan atau natur dosa (Gal 5:19-21), bahkan dari Iblis (Yak 3:14-15). Dia melukahi orang yang di-iri (Amsal 27:4) bahkan melukahi diri sendiri (Amsal 14:30). Iri hati menghancurkan kemampuan manusia untuk hidup bersukacita, satu kehidupan yang Tuhan sediakan bagi manusia percaya.
Iri hati termasuk dosa besar (‘dosa maut’) karena langsung bertentangan dengan kasih, keutamaan kekristenan, yang mengharapkan terjadinya dan bersukacita dengan kebaikan pada orang lain. Ketika iri kita pada dasarnya tidak percaya lagi kalau Allah itu baik dan adil. Matanya tidak lagi melihat kepada Allah tapi kepada manusia ‘pesaingnya.’ Dia tidak bisa melihat kebaikan Allah dan bersyukur. Dan satu sumber iri hati adalah sesombongan manusia, satu dosa besar lain. Sementara dari iri hati, dosa ini bisa berkembang kepada hidup tidak bersyukur, dengki, kepahitan, kebencian, kesenangan dengan kejatuhan orang lain, bahkan tindakan-tindakan lain yang menghancurkan orang sasaran iri hatinya untuk mengangkat diri sendiri.
Bagaimana kita menangani iri hati ini? Pertama, kita harus menyadari kita melakukan dosa iri ini dan rentan terhadap dosa iri, siapa pun kita. Kita mengakui di hadapan Tuhan dan bertobat. Maka menurut 1 Yohanes 1:9 Dia akan mengampuni dan menyucikan kita dari dosa iri hati yang kita akui itu. Berikut, karena iri hati adalah masalah hati, maka kita perlu ‘menjaga hati’ (Amsal 4:23). Kita menjaga hati dari hal-hal yang bisa membangkitkan iri: ego (perlu menyangkal diri), rasa tidak aman, emosi tidak dewasa, keinginan berlebih alias serakah (salah satu dosa gawat lain), perasaan frustasi, dsb yang akan memacu iri hati. Kita perlu memagari diri dengan seluruh perlengkapan rohani yang disediakan Allah (Lihat Efesus 6:10-20). Hidup dalam pimpinan Roh Kudus melalui ketaatan kepada Dia akan membangun buah Roh dalam diri kita (Galatia 5:22-23), menolong kita tidak hidup menurut kedagingan, membentengi kita dari iri hati. Sebaliknya, dalam Roh kita membangun karakter kasih, kemurahan, syukur yang bertentangan dengan iri. Tuhan memberkati! (Reformata.com)