Oleh: Harry Puspito
Budaya mengajar kita untuk percaya diri. Sejak kecil guru mengajarkan, ‘Kamu bisa, kamu pasti bisa.’ Tanpa sadar bibit-bibit egoisme ditanamkan sejak usia dini. Ketika sikap keyakinan ini berkembang lebih jauh, terjadilah dosa kesombongan. Orang yang sombong mengagumi dirinya secara berlebihan. Kesombongan timbul dari kompetisi. Kompetisi yang sehat baik, namun ketika batas-batasnya dilewati akan membangkitkan dosa yang sedang kita bicarakan ini. Setiap orang rentan dengan dosa kesombongan ini. Membandingkan dengan orang lain, seseorang bisa menjadi sombong karena penampilan fisiknya, kemampuan olah-raga, prestasi akademik, kemampuan berbicara, kekayaannya, posisinya, dsb., dsb.
Ironisnya pengetahuan akan agama potensi menjadikan orang sombong, merasa lebih tahu akan hal-hal yang rohani, merasa lebih suci. Dalam Alkitab, kita melihat kelompok Farisi yang bangga dengan diri mereka dan pengetahuan mereka akan agama Yahudi. Membaca sikap mereka, Yesus suatu ketika menjadikan sikap mereka sebagai perumpamaan tentang orang yang meninggikan dirinya seperti dikisahkan dalam Lukas 18:9-14. Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. Sementara Allah membenci orang yang sombong dan akan merendahkan orang yang sombong (ayat 14).
Kesombongan (Inggris: pride) dalam Bahasa Latin ‘superbia’ atau hubris adalah keyakinan yang berlebihan mengenai kemampuan-kemampuan sendiri, sehingga dia tidak mengenali anugerah Allah. Harga diri yang berlebih ini yang membuat seseorang menjadi sombong, dan kesombongan membuat merasa dirinya paling benar. Dosa sombong dikatakan sebagai ‘dosa dari dosa-dosa’. Dosa inilah yang mengubah Lucifer, kerubim Allah, menjadi Setan, bapa segala kebohongan. Dosa sombong ini yang membuat Hawa jatuh dalam bujukan Iblis karena menawarkan untuk menjadi sama dengan Allah (Kejadian 3:5). Kisah manusia mendirikan Menara Babel adalah kisah keangkuhan manusia untuk hidup terpisah dengan Allah (Kej 11:1-9).
Dalam Tujuh Dosa Maut yang dirumuskan oleh bapa gereja pada abad enam tidak heran dosa kesombongan ada pada urutan pertama. Ini sesuai dengan daftar dosa yang ada di Alkitab, seperti pada Amsal 6:16-19 – Enam perkara ini yang dibenci TUHAN, bahkan, tujuh perkara yang menjadi kekejian bagi hati-Nya: mata sombong, lidah dusta, tangan yang menumpahkan darah orang yang tidak bersalah, hati yang membuat rencana-rencana yang jahat, kaki yang segera lari menuju kejahatan, seorang saksi dusta yang menyembur-nyemburkan kebohongan dan yang menimbulkan pertengkaran saudara.
Keyakinan akan diri memiliki sisi positif pada tingkat dan alasan yang wajar – percaya diri, percaya diri sebagai mahluk ciptaan Tuhan, yang diciptakan sesuai dengan gambar Allah. Oleh karena itu, kita sering sulit mengenali apakah kita percaya diri atau sudah pada tingkat sombong. Bagaimana kita mengetahui kalau dalam diri kita sudah mulai timbul kesombongan? Sombong selalu berpusat pada diri dan selalu mempromosikan diri sendiri. Orang yang sombong senang kalau orang lain mengalami kegagalan. Kesombongan selalu berusaha menarik perhatian pada diri sendiri dalam pembicaraan atau situasi, sering dengan mengorbankan orang lain. Kesombongan melihat orang lain lebih rendah. Kesombongan bahkan membuat orang tidak menghormati Tuhan dan mencuri kemuliaan-Nya. Kita memerlukan kepekaan dari Tuhan untuk menyadari dosa ini.
Bagaimana kita menghadapi dosa kesombongan? Pertama, kita perlu menyadari akan kesombongan dalam diri sendiri. Dan ini tidak mudah. Sifat dosa manusia membuat manusia sombong tanpa menyadari hal ini, karena telah menjadi naturnya. Oleh karena itu kita perlu merendahkan diri, meminta Tuhan menyatakan dosa kita itu – dimana kita telah bersikap sombong. Kita meminta pengampunan-Nya dan pertolongan-Nya untuk bersikap rendah hati.
Di samping kita terus memerangi sikap sombong yang timbul dengan memandang kebesaran Allah, kasih Allah kepada manusia – kepada kita dan sesama kita, meneladani Yesus yang walaupun adalah Allah tapi telah begitu merendahkan diri-Nya menjadi manusia sehingga Dia mampu taat kepada Bapa, bahkan sampai mati demi penebusan umat manusia (Filipi 2:7-8), yang dicintai-Nya. Semua manusia diciptakan dalam gambar-Nya, sehingga tidak ada alasan merendahkan sesama manusia yang adalah sesama ciptaan Allah itu. Selanjutnya, kita bisa lebih menjaga hati, agar tidak menjadi angkuh, dengan saling mengaku dosa kita dengan sesama orang percaya dan saling mendoakan. Kiranya Tuhan menolong kita memerangi dosa kesombongan yang sangat Dia benci itu. Tuhan memberkati! (Reformata.com)