Diakonia.id – Setiap menjelang Natal, muncul perdebatan seputar partisipasi Muslim dalam perayaan hari raya umat Kristiani seperti mengucapkan selamat kepada yang merayakannya.
Namun, bagaimana dengan menikmati suasana perayaan dengan cara yang lebih umum seperti berbelanja memanfaatkan program diskon Natal atau bertukar kado?
Nabillah Ayu, adalah Muslimah berusia 22 tahun. Pekan lalu, wanita yang bekerja di sebuah perusahaan swasta di Jakarta itu baru saja berbelanja boneka dan aksesori rambut bertema Natal.
Barang-barang itu — yang ditawarkan dengan harga khusus dalam rangka Natal — ia beli untuk acara tukar kado Natal bersama teman-temannya.
Bagi Nabillah, mengucapkan selamat Natal dan ikut berpartisipasi dalam suasana perayaan merupakan bagian dari upaya saling menghormati perbedaan.
“Enggak ada masalah. Aku ikut bahagia ketika teman-teman rayakan Natal, karena itu juga hari raya suka cita. Walaupun enggak merayakan, tapi aku ikut senang karena mereka merasa senang juga,” ujar Nabillah kepada BBC News Indonesia.
Namun, sebagian umat Islam memilih untuk tidak mengucapkan ‘Selamat Natal’ dengan alasan keyakinan.
Salah satunya, Haikal Hassan, juru bicara Persaudaraan Alumni 212, berpandangan bahwa yang tidak diizinkan dalam Islam adalah mengakui bahwa perayaan itu adalah untuk merayakan lahirnya Yesus, yang dipercaya sebagai Tuhan oleh umat Kristiani.
Dalam hal ini, ia menekankan pentingnya bahasa, sehingga pemilihan kata-kata dalam ucapan memberi selamat itu harus dipilih dengan hati-hati.
“Dalam perspektif Islam, yang tidak diizinkan itu adalah mengakui, mengakui bahwa perayaan itu adalah untuk merayakan lahirnya yang dipercaya oleh pihak saudara-saudara kita yang berumat Kristiani itu sebagai Tuhan atau Anak Tuhan. Karena Yesus dalam pandangan Kristen, Protestan maupun Katolik, Tuhan atau Anak Tuhan,” kata Haikal.
“Ucapan selamat kepada mereka itu mengakui keberadaan Anak Tuhan atau Tuhan itu sendiri, sehingga kita perpektifnya adalah, kita tidak mengucapkan ‘Selamat Natal’. Tapi [mengucapkan] ‘Selamat merayakan Natal Anda’ yah silahkan, tidak ada masalah,” tambahnya.
Di sisi lain, sebagian umat Islam menganggap mengikuti perayaan, termasuk memberi ucapan, bukan sebuah masalah. Nong Darol Mahmada, aktivis dan pemerhati masalah keislaman, mengatakan bahwa iman tidak hilang semudah mengucapkan.
“Enggak ada urusannya dengan aqidah, karena salah satu alasan yang mengharamkan ucapan selamat natal itu adalah kekhawatiran atau ketakutan aqidahnya itu akan luntur. Orang mengucapkan selamat Natal kan nggak kemudian tiba-tiba dia menjadi Kristen. Kan enggak. Ini hanya sekedar greeting biasa aja,” kata Nong.
Bahkan menurut dia, memberi ucapan seperti ‘Selamat Natal’ itu justru penting untuk membina persaudaraan antarumat beragama. Ia mencontohkan seperti halnya ketika umat beragama lain juga memberinya ucapan Hari Raya Lebaran.
Mengapa potongan harga Natal tidak dipersoalkan?
Terlepas dari pro dan kontra soal ucapan selamat Natal, potongan harga khusus jelang Natal yang ditawarkan para pelaku usaha ritel di Indonesia, relatif tidak menjadi persoalan di kalangan umat Islam.
Sebagian Muslim di Indonesia yang menolak mengucapkan selamat Natal, menganggap program potongan harga lebih sebagai peristiwa ekonomi dan bukan bentuk perayaan keagamaan.
“Itu bukan merupakan bentuk perayaan keagamaan,” kata Haikal Hassan, juru bicara Persaudaraan Alumni 212.
Sementara, Nong Darol Mahmada menjelaskan, perayaan Natal juga ditujukan untuk dinikmati semua orang secara umum, termasuk turut serta dalam hal berlibur maupun berbelanja.
Kenyataan seperti ini, tentu saja, merupakan berkah bagi semua pelaku usaha ritel yang setiap tahun akan memberikan potongan harga selama perayaan Natal.
Roy Mandey, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, atau Aprindo, mengatakan, selama perayaan Natal, semua pelaku usaha ritel anggota asosiasi pasti akan menawarkan potongan harga khusus untuk menggerakkan sektor konsumsi.
Ia menjelaskan bahwa potongan harga memang menjadi insentif yang sangat digemari masyarakat Indonesia, terutama kelompok kelas menengah.
‘Polemik kambuhan’
Bagaimanapun, polemik pengucapan ‘Selamat Natal’ muncul hampir setiap tahun bagai penyakit kambuhan, kata Lies Marcoes, seorang ahli kajian Islam dan gender, yang juga direktur Yayasan Rumah Kita bersama.
Menurut Lies, hukum boleh tidaknya mengucapkan selamat Natal bagi umat Islam pada dasarnya merupakan hal yang bersifat khilafiah, atau terbuka pada interpretasi dan sifatnya tidak mengikat.
“Sepanjang itu tidak diletakkan sebagai sesuatu yang bersifat aqidah, ya lalu orang tidak menghubungkannya dengan apa implikasinya. Buktinya bahwa mungkin dia tidak mengucapkan Natal tapi menikmati belanja dengan diskon besar-besaran tidak jadi masalah,” kata Lies.
Polemik ini tidak hanya menjadi bahan pertimbangan di antara para individu, namun juga menyentuh sektor perusahaan. Bulan lalu, masyarakat ramai membicarakan peraturan yang tertulis di salah satu toko roti asal Korea Selatan di Jakarta yang melarang membuat kue dengan ucapan Selamat Hari Natal, Imlek, Halloween, dan Valentine.
Peraturan tersebut disebut pihak toko sebagai salah satu upaya untuk mendapatkan sertifikasi halal, yang kemudian ditanggapi Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ikhsan Abdullah sebagai langkah yang berlebihan.
Pihak toko akhirnya memberi pernyataan klarifikasi dan permintaan maaf melalui akun Instagramnya serta menjelaskan bahwa “peraturan itu bukan merupakan peraturan resmi yang diberlakukan oleh manajemen pusat.”
Pada tahun 2016, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bagi perusahaan-perusahaan agar mereka tidak memaksakan karyawannya yang bukan beragama Kristen untuk menggunakan atribut Natal.
Menjelang perayaan Natal tahun 2019, MUI pusat menyatakan pihaknya tidak melarang dan tidak pula menganjurkan umat Muslim untuk mengucapkan selamat Natal.
Ini bertolak belakang dengan anjuran MUI Jawa Timur untuk tidak mengucapkan selamat Natal. (BBC)