Diakonia.id – Setelah pemerintah pusat turun tangan, umat Kristiani di Kabupaten Dharmasraya di Sumatra Barat akhirnya bisa merayakan Natal bersama, setelah sebelumnya muncul polemik pelarangan perayaan di daerah itu.
Namun, bagi pegiat kebebasan beragama, hal itu masih menyisakan tanda tanya terkait keberlangsungan kebebasan beragama umat yang menjadi minoritas di suatu daerah.
Sejumlah penganut Katolik di Dharmasraya akhirnya bisa dengan lega menjalankan misa dan merayakan Natal bersama-sama di rumah singgah yang selama beberapa tahun ini menjadi tempat mereka beribadah, setelah mendapat izin dari pihak keamanan.
Sudarto, Program Manager Pusat Studi Antarkomunitas (Pusaka) Padang, lembaga yang mengadvokasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Sumatra Barat mengungkapkan mereka akhirnya “boleh” merayakan Natal, setelah ada “tekanan publik” dan “desakan dari pemerintah pusat”.
“Ada kesepakatan mereka boleh ibadah di tempat yang biasa mereka gunakan untuk sekolah Minggu dan ibadah,” ujar Sudarto kepada BBC News Indonesia.
“Setelah ada surat dari Mendagri dan tekanan publik yang begitu kuat, katanya diizinkan, dan katanya untuk tempat yang permanen akan dibicarakan lagi setelah tanggal 10 Januari 2020. Tapi lagi-lagi, tidak ada bukti tertulis, tidak ada dokumen tertulis, hanya pernyataan-pernyataan saja,” lanjutnya.
Sebelumnya, pemerintah pusat melalui Menteri Dalam Negeri, telah menyurati Bupati Dharmasraya, Sutan Riska Tuanku Kerajaan, agar menjaga praktik toleransi antar umat beragama, setelah masalah tersebut menjadi isu nasional.
Namun Bupati Sutan Riska menepis kabar adanya larangan umat Kristiani merayakan Natal.
Dia menyatakan bukan larangan ibadah Natal, tetapi adanya keberatan masyarakat bila ibadah Natal digelar dengan mendatangkan jemaat dari luar kawasan.
“Bahwasanya itu tidak ada melakukan hal yang seperti itu, selama ini sudah menjaga kerukunan. Bahwasanya, umat Katolik yang ada di Nagarai Sikabau dalam keadaan berdampingan dan tidak pernah ada gesekan di bawah,” ujar Sutan Riska.
Kesepakatan pemerintah dan tetua adat
Namun umat Katolik di Kampung Baru, Nagari Sikabau, Kabupaten Dharmasraya, mengaku sejak dua tahun silam mereka dilarang merayakan Natal secara bersama-sama.
Mereka menyatakan, sesuai kesepakatan pemerintah dan tetua adat di kabupaten itu, umat Kristiani hanya boleh merayakan Natal di rumah masing-masing.
Pada awal bulan ini, Ketua Stasi Anastasia Maradu Lubis mengajukan izin agar dapat melakukan ibadah dan perayaan Natal di rumah singgah Katolik, di Kampung Baru.
“Saya tidak minta yang muluk-muluk, beribadah di rumah saja, bisa itu sudah lebih daripada cukup. Berpindah-pindah pun kami dari rumah ke rumah, asalkan boleh sekali seminggu untuk merayakan ibadah,” kata Maradu.
Namun Wali Nagari tidak memberikan izin dan melaporkan surat penolakan warga pada dua tahun sebelumnya yang dianggap belum dicabut.
Program Manager Pusat Studi Antarkomunitas (Pusaka) Padang, Sudarto, mengatakan jika umat Kristiani tidak mengindahkan pemberitahuan dan pernyataan Pemerintah Nagari, ninik mamak, tokoh masyarakat, dan pemuda Nagari Sikabau akan ada tindakan tegas.
“Mereka melarang ibadah dilakukan di rumah singgah, ibadah hanya boleh dilakukan secara sendiri-sendiri.”
“Ini kan menolak ibadah berjamaah bersama-sama yang mendatangkan orang lain di tempat itu,” jelas Sudarto.
Saat ini ada 40 umat Katolik di Jorong Kampung Baru, Nagari Sikabau dan sekitar 60 umat Katolik di Sungai Rumbai.
Sementara jumlah penganut Kristen diperkirakan berjumlah 77 kepala keluarga di Sungai Rumbai.
Hingga kini, tidak ada gereja di Kabupaten Dharmasraya.
Setiap tahun mereka menyelenggarakan ibadah Natal di Gereja Santa Barbara di Kota Sawahlunto, sekitar 120 kilometer dari tempat tinggal mereka.
‘Kearifan lokal sebagai alat legitimasi’
Peneliti SETARA Institute, Halili, menyebut polemik di Dharmasraya muncul karena “kearifan lokal digunakan sebagai alat legitimasi satu kelompok untuk menafikkan eksistensi kelompok lain”.
“Kearifan lokal dibaca bukan sebagai toleransi, tapi kerukunan dalam artian yang minoritas ikut kepada logika mayoritas,” ujar Halili.
“Artinya, yang sedang bekerja sebenarnya bukan harmoni, tetapi mayoritarianisme agama kemudian kearifan lokal digunakan menjadi alat untuk menjustifikasi mayoritarianisme itu,” lanjutnya.
Dia mencontohkan mayoritarianisme agama itu juga terjadi di Yogyakarta, ketika warga yang mayoritas beragama Islam menolak pemasangan nisan salib di makam seorang warga bernama Albertus Slamet Sugihardi.
Warga memotong bagian atas nisan salib. Warga juga menolak adanya doa bagi jenasah di pemakaman dan di rumah keluarga.
“Itu kan bukan karena consent (persetujuan), bukan karena keikhlasan menerima. Tapi lebih karena keluarga itu sadar mereka adalah minoritas di komunitas itu sehingga kearifan lokal yang dipaksakan itu membuat yang sedikit ini terpaksa mengikuti keinginan yang banyak.”
“Jadi yang sebenarnya sedang bekerja adalah mayoritarianisme, bukan harmoni,” jelas Halili.
Peran pemerintah pusat dianggap menjadi penting ketika praktik intoleran dilaporkan masih terjadi di sejumlah daerah.
Tetapi Wakil Presiden Maruf Amin, melalui juru bicaranya Masduki Baidlowi mengatakan, pihaknya akan terus berupaya untuk memastikan bahwa pemerintah daerah harus memiliki ketegasan dan keperpihakkan dalam menjamin hak-hak dasar warganya, termasuk kebebasan beragama.
“Langkah dari pemerintah pusat sudah dilakukan, sudah ada surat dari Kemendagri kepada pemerintah kabupaten sebagai bentuk perintah agar pemerintah kabupaten punya leadership yang tegas, punya keberpihakan terhadap prinsip-prinsip keadilan dalam menegakkan hak-hak dasar bagi setiap orang untuk bisa melaksanakan ibadah,” ujar Masduki.
“Karena pada dasarnya secara tegas negara kita melindungi hak-hak ibadah setiap warga negaranya,” ujarnya.
Selain di Dharmasraya, kasus serupa pula dialami oleh umat Kristiani di Kabupaten Sijunjung dan Lunang Silaut di Pesisir Selatan Sumatra Barat.
Demikian halnya umat Kristen di Aceh Singkil yang hingga kini kesulitan mendirikan rumah ibadah di Aceh, satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat Islam. (BBC)