Diakonia.id – Pada 27 Oktober 2021, seorang mahasiswi memasuki ruang kerja Syafri Harto, Dekan Fakultas Ilmu Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Riau di Pekanbaru, dan pembimbing skripsinya. Mahasiswi itu mengaku tercengang ketika Syafri mulai menggodanya, memberi isyarat dan mengatakan “I love you,” sebelum akhirnya Syafri meletakkan kedua tangannya di bahunya. Syafri diduga mencium pipi mahasiswi itu dan memintanya untuk mencium bibirnya. Sang mahasiswi kemudian mendorong Syafri dan meninggalkan ruangan.
Mahasiswi tersebut meminta kepada kepala jurusan dan sekretarisnya agar menugaskan seorang pembimbing skripsi lainnya, tapi kedua pria itu mengabaikan ceritanya, dan menyebut itu adalah “masalah kecil” dan memintanya untuk bertemu dengan Syafri saja. Mereka juga menyarankan agar mahasiswi itu tidak menyuarakan tuduhannya karena bisa “membahayakan rumah tangga Syafri.” Mahasiswi itu menghabiskan waktu sepekan untuk mendorong agar pihak kampus mengambil sikap. Sementara itu, Syafri yang mengetahui soal keluhan mahasiswi itu dari para dosen, mengirim pesan singkat kepadanya, menulis bahwa kejadian itu adalah “soal ayah dan anak”.
Pada 4 November, mahasiswi itu melaporkan kasus yang menimpanya ke serikat mahasiswa di jurusannya, Korps Mahasiswa Hubungan Internasional (Komahi). Komahi lantas merekam kisahnya dan memposting video berdurasi 13 menit itu di akun Instagram mereka. Video ini beredar luas di jagat maya Indonesia, dan mendorong Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk mengutus inspektur jenderalnya mendatangi kampus itu juga pihak kepolisian agar menyelidiki Syafri.
Syafri membantah tuduhan pernah mencium mahasiswi itu dan mengajukan gugatan pencemaran nama baik terhadap mahasiswi itu dan Komahi, dengan ganti rugi finansial sebesar Rp.10 miliar. Ratusan mahasiswa menggelar aksi protes di kampus tersebut guna menuntut agar pejabat universitas membentuk satuan tugas untuk menangani kekerasan seksual.
Sayangnya, kasus ini hanya satu dari banyak kasus di berbagai kampus di seluruh Indonesia. Sebagian besar kasus semacam itu berakhir dengan negosiasi “penyelesaian damai” yang gagal memberikan keadilan bagi para korban, yang merasa tidak berdaya melawan para staf senior dan pejabat di kampus. Berbagai laporan muncul di media Indonesia tentang dosen atau mahasiswa senior yang melecehkan, menyerang, dan memperkosa mahasiswi. Keputusasaan para korban yang merasa tidak mampu mencari keadilan tercermin dari tagar yang beredar luas di internet yang mengiringi isu tersebut, termasuk #NamaBaikKampus.
November lalu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim menyatakan bahwa kekerasan seksual di kampus-kampus di Indonesia dalam kondisi “gawat darurat.” Dua bulan sebelumnya, Nadiem telah menandatangani Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 yang mewajibkan kampus untuk membentuk unit kerja untuk menangani pelecehan, penyerangan, dan kekerasan seksual.
Peraturan tersebut mendefinisikan 20 tindakan terlarang sebagai jenis kekerasan seksual, termasuk tindakan verbal, non-fisik, dan daring. Peraturan ini mengharuskan setiap kampus untuk membentuk gugus tugas dengan mayoritas anggota perempuan yang mencakup dosen dan mahasiswa.
Nadiem mengutip sebuah survei yang dilakukan kementerian tersebut pada tahun 2020, di mana ditemukan bahwa sebanyak 77 persen dosen Indonesia percaya bahwa kekerasan seksual terjadi di kampus mereka dan 63 persen di antaranya tidak melaporkan kasus tersebut ke pejabat kampus.
Menteri Agama Yaqut Cholil Quomas menyebut peraturan tersebut “revolusioner” dibandingkan dengan berbagai kebijakan yang biasanya “stagnan” seputar pelanggaran seksual. Yaqut juga menegaskan bahwa Kementerian Agama yang mengurusi perguruan tinggi dan sekolah Islam, mendukung penuh peraturan baru ini, meminta agar perguruan tinggi Islam membentuk satuan tugas serupa di kampus.
Namun upaya Nadiem dan Yaqut menghadapi reaksi keras dari sejumlah kelompok Muslim konservatif. Fauzi Bahar—politisi asal Padang, Sumatera Barat, yang mengepalai sebuah organisasi lokal bernama Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau—mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung yang meminta agar Permendikbudristek tersebut dibatalkan.
Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau juga adalah organisasi yang berhasil menggugat Permendikbudristek lainnya pada Februari 2021 yang mengizinkan siswi dan guru perempuan untuk bebas memilih pakaian mereka. Pada Mei 2021, Mahkamah Agung memutuskan bahwa siswi Muslim dari kelas 1 hingga 12 di sekolah negeri tidak memiliki hak untuk memilih — mereka harus mengenakan jilbab (pakaian Muslim yang menutupi kepala, leher, dan dada).
Lintas, sebuah majalah kampus terbitan Lembaga Pers Mahasiswa di Institut Agama Islam Negeri Ambon, Maluku pada Maret 2022 menerbitkan satu reportase tentang 32 mahasiswa yang mengalami pelecehan seksual antara tahun 2015 hingga 2021 di kampus tersebut. Alih-alih menyelidiki tuduhan tersebut, pihak kampus malah memutuskan untuk memberedel redaksi, menyita peralatan, dan menutup kantor LPM Lintas.
Kembali di Pekanbaru, kampus akhirnya membentuk tim pencari fakta independen dan jaksa penuntut umum menangkap Syafri Harto pada 17 Januari 2022, dengan tuduhan “pelecehan seksual.” Sidang Syafri menghadirkan 16 saksi antara lain mahasiswi korban, sekretaris Syafri, dua dosen, rekan kerja dan bibi mahasiswi korban, serta tiga saksi ahli. Seorang psikolog bersaksi bahwa cerita mahasiswi itu konsisten, dan dia mengalami trauma.
Syafri membantah bahwa dia mengisyaratkan “I love you” kepada mahasiswi itu atau menciumnya, tetapi mengaku meletakkan kedua tangannya di bahu mahasiswi tersebut.
Pada 30 Maret, majelis hakim yang berisi tiga laki-laki memutuskan Syafri tidak bersalah, dengan menetapkan bahwa “satu saksi bukanlah saksi.” Puluhan anggota Komahi, baik laki-laki maupun perempuan, menyatakan keterkejutan mereka atas putusan tersebut dan bereaksi di pengadilan dengan tangisan dan ekspresi kemarahan terhadap sistem hukum Indonesia.
Penanganan kasus ini di pengadilan menunjukkan kurangnya kepekaan gender. Aturan umum bahwa sebuah kasus tidak dapat berdiri berdasarkan satu saksi, terlepas dari kredibilitas saksi dan fakta lain yang ada, akan menghalangi banyak penyintas kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan. Jaksa penuntut umum berencana mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung di Jakarta. Jumlah perempuan di Mahkamah Agung yang sedikit, di mana hanya ada enam perempuan dari total 51 hakim. Hal ini membuat besar kemungkinan tidak akan ada satu orangpun perempuan di antara tiga hakim yang menangani perkara banding ini.
Pemerintah Indonesia harus segera mengakui dan menangani kasus-kasus pelecehan dan penyerangan seksual yang meluas terhadap mahasiswi di berbagai perguruan tinggi di seluruh negeri. Kehidupan perempuan dan akses mereka untuk mendapatkan pendidikan akan terus terganggu selama dosen dan pengelola kampus bisa terlibat dalam pelecehan tanpa tersentuh hukum.
Penulis: Andreas Harsono/ cocunuts