Diakonia.id – Yel-yel bersentimen suku, agama, ras dan antar golongan atau SARA yang muncul dalam kegiatan Pramuka di sebuah sekolah dasar di Yogyakarta dinilai pengamat menguak tren ekstrakurikuler sebagai pintu masuk toleransi di kalangan pelajar.
Pengurus pusat Pramuka di Jakarta menyebut kasus tersebut bersifat orang per orang. Mereka mengklaim, secara prinsipil Pramuka mendidik pelajar untuk bersifat inklusif dan berbaur dalam perbedaan.
“Islam, Islam, yes. Kafir, kafir, no.”
Begitulah penggalan lirik kontroversial ‘tepuk anak saleh’ yang dinyanyikan di SD Negeri Timuran, Yogyakarta, 10 Januari lalu.
Yel-yel itu dipersoalkan publik karena nadanya serupa dengan ‘Tepuk Pramuka’.
Yang mengajarkannya pun adalah peserta kursus pembina Pramuka pada tingkat lanjutan.
Meski begitu, Wakil Kepala Humas Kwartir Nasional Pramuka, Berthold Sinaulan, menyebut yel-yel itu tidak mencerminkan sikap lembaganya.
Ia mengatakan nyanyian itu bukan materi yang diterima pembina Pramuka selama proses pelatihan.
Mengakui yel-yel tersebut menyinggung sentimen agama dan berpotensi memicu sikap intoleransi anak, pimpinan pusat Pramuka berjanji menjatuhkan hukuman pada pembina yang menganjurkan “tepuk anak saleh”.
“Ini kasuistik. Dalam kursus sudah ditekankan soal Pancasila dan ragam permainan iklusif. Kami tidak tahu kenapa dia begitu. Itu bukan tepuk Pramuka,” kata Berthold via telepon kepada wartawan BBC News Indonesia Abraham Utama, Selasa (14/01).
“Tentu ada sanksi. Ada dewan kehormatan yang akan menyelidiki sesuai aturan. Bisa saja ijazah kursusnya nantinya ditangguhkan,” ujar Berthold.
Yel-yel kontroversial itu sejak awal pekan ini dikutuk sejumlah pejabat dan tokoh publik, dari Menko Polhukam Mahfud MD, Gubernur DIY, Sultan Hamengkubuwono X, hingga Kiai Haji Mustafa Bisri.
DPRD Yogyakarta juga memanggil pengurus pimpinan Pramuka di provinsi itu untuk menjelaskan kasus dan tindak lanjut terhadapnya.
Menurut Direktur Maarif Institute, Abdul Rohim Ghazali, kejadian di SD Negeri Timuran itu mencerminkan fenomena umum ekstrakurikuler sebagai medium penyemai intoleransi di kalangan pelajar.
Merujuk hasil survei yang dilakukan Maarif Institute selama tahun 2017 di enam provinsi, aktivitas di sekolah setelah jam belajar-mengajar kerap disusupi paham intoleransi, bahkan radikalisme.
Rohim mengatakan pengawasan dan pencegahan hanya efektif dilakukan orang tua.
Alasannya, kata dia, guru dan kepala sekolah selama ini permisif dan bahkan kerap menerbitkan kebijakan yang antikeberagaman.
“Kepala sekolah harus mengawasi dan bertanggung jawab sepenuhnya. Persoalannya, intoleransi itu justru biasanya masuk lewat kebijakan kepala sekolah, menurut riset kami,” ujar Rohim.
“Misalnya soal pemisahan tempat duduk antara siswa laki-laki dan perempuan sampai kewajiban berjilbab.”
“Orang tua punya peran paling besar. Seperti yang terjadi di Jogja, kasus itu kan bermula dari protes orang tua,” ujar Rohim.
Bagaimanapun, walau diklaim kasuistik, pembenahan dalam tahap pengawasan dan pencegahan dianggap penting dilakukan Pramuka secara menyeluruh.
Apalagi, kata Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Retno Listyarti, Pramuka merupakan ekstrakurikuler yang wajib di tingkat pendidikan dasar dan menengah.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 63/2014 menyatakan bahwa pendidikan kepramukaan merupakan ekstrakurikuler wajib dalam kurikulum 2013.
“Pramuka adalah ekskulurikuler wajib, setiap anak wajib mengikuti ini bahkan ini menentukan kenaikan dan kenaikan kelas,” ujar Retno.
“Ekstrakurikuler lain sifatnya opsional. Jadi nilai keberagaman dalam Pramuka harus dijaga, bahkan harusnya menjadi contoh penyemaian nilai kebangsaan,” kata dia. (bbc)