Diakonia.id – “Jadi kalian sudah membunuh Dia yang adalah Sumber Hidup, tetapi Allah sudah menghidupkan Dia kembali dari kematian” – Rasul Paulus, dalam Kisah Para Rasul 3:15.
Golgota adalah tempat dimana kejahatan besar kemanusiaan – kesombongan, persaingan, saling menyalahkan, kekerasan, peperangan dan penaklukan – semua diseret ke bawah terang cahaya penghakiman ilahi yang membakar.
Di Golgota, sistem organisasi manusia yang dengan bangga kita sebut sebagai ‘peradaban’ terlihat sebagaimana aslinya : sumbu kekuasaan yang ditegakkan oleh kekerasan, yang sedemikian korupnya sehingga ‘mampu’ membunuh Tuhan atas nama ‘kebenaran’, keadilan dan kebebasan.
Golgota juga adalah tempat dimana ekspresi kasih Allah mencapai puncaknya.
Saat Yesus digantung atas nama kebenaran agamawi dan keadilan kerajaan, Dia mengekspresikan hati Bapa, saat Dia memohon pengampunan bagi para eksekutorNya.
Di salib kita menemukan Allah yang disingkapkan Yesus, yang memilih mati atas nama cinta, ketimbang membunuh atas nama kemerdekaan.
Juruselamat kita adalah Yesus Kristus, bukan William Wallace.
Salib adalah sesuatu yang mengerikan, sekaligus agung.
Yang sangatlah buruk, tapi sekaligus sangatlah indah.
Salib sama menyeramkannya dengan dosa manusia, tapi sekaligus sama mulianya dengan kasih ilahi.
Salib adalah pertemuan antara dosa dan kasih karunia.
Tapi salib bukan kontes adu kuat.
Pada akhirnya kasih dan keagungan yang menang.
Kita sebut itu, Paskah.
Salib bukanlah suatu kompensasi atau ganti rugi kepada Allah, dimana Allah setuju untuk mengampuni setelah menerima kompensasi berupa pembunuhan AnakNya.
Salib bukanlah transaksi ekonomi dimana Allah mendapat keuntungan dari pengampunan yang Dia berikan.
Model hukum dan fiskal sama sekali tidak dapat digunakan untuk memahami salib.
Yesus TIDAK MENYELAMATKAN KITA DARI ALLAH.
Yesus MENYINGKAPKAN Allah sebagai PENYELAMAT.
Apa yang disingkapkan di hari penyaliban bukanlah makhluk monster haus darah yang menuntut pengorbanan perawan ke dalam kawah gunung api, atau menuntut pemakuan anak sulung ke tiang.
Yang disingkapkan oleh hari penyaliban adalah betapa dalam kebejatan manusia, tetapi betapa jauh lebih dalamnya lagi kasih Allah.
Jika salib dipahami sebagai sesuatu yang berbeda, hasilnya adalah bencana.
Bahwa itu adalah penyaliban yang tidak adil dan kejam atas seorang tak bersalah.
Bahwa itu adalah pembunuhan oleh Allah.
Bapa mengirim AnakNya ke dalam sistem peradaban kita untuk menunjukkan betapa parahnya dosa itu -sedemikian parah hingga membunuh Dia yang tak berdosa.
Allah TIDAK BERKEINGINAN MEMBUNUH AnakNya.
Tapi Ia TAHU itu akan terjadi.
Bahkan Plato tahu itu akan terjadi.
Membayangkan apa yang akan terjadi pada seorang yang sempurna dalam dunia kita yang tak sempurna, Plato mengatakan, “Manusia sempurna kita itu akan disesah, diperas, dibelenggu.. dan akhirnya, setelah segala penderitaan, akan disalibkan” (dalam The Republic, Buku II, halaman 37).
Plato menulis ini 300 tahun sebelum Kristus.
Bapa tahu apa yang Plato ketahui.
Bahwa supaya Yesus memproklamasikan dan meresmikan Kerajaan Allah di tengah dunia kita yang tak adil dan kejam ini, dibutuhkan pengorbanan yang sangat mahal.
Kematian Yesus adalah pengorbanan.
Tapi itu adalah korban untuk mengakhiri sistem penyembelihan korban selama ini, BUKAN persembahan untuk menenangkan allah yang murka.
BUKAN Allah yang mensyaratkan pengorbanan Yesus.
Peradaban kitalah yang butuh pengorbanan Yesus!
Suatu sistem yang dibangun di atas kekerasan kekuasaan tidak bisa menerima kehadiran seseorang yang tidak berhutang apapun padanya.
Pengorbanan Yesus dibutuhkan untuk meyakinkan kita supaya berhenti mengorbankan.
Bukan untuk meyakinkan Allah supaya mengampuni.
Saat Yesus berdoa mohon pengampunan di salib, Ia tidak bertindak berlawanan dengan sifat Allah, sebaliknya Ia menyingkapkan sifat Allah yang adalah kasih yang mengampuni.
Coba pikirkan ini : Dimana kita menemukan Allah dalam peristiwa penyaliban?
Apakah dalam diri Kayafas yang sedang mencari kambing hitam?
Apakah dalam diri Pilatus yang menginginkan eksekusi?
Atau dalam diri Yesus yang menyerap semua dosa dan merespon dengan pengampunan?
Paulus berkata Allah dalam Kristus mendamaikan dunia dengan diriNya (2 Korintus 5:19).
Ini jangan salah dibaca menjadi Allah mendamaikan diriNya kepada dunia.
Dunia yang butuh didamaikan. Bukan Allah.
Yesus mati bagi kita… bukan bagi Allah.
Penyaliban bukanlah sesuatu yang dibebankan Allah kepada Yesus supaya Ia bersedia mengampuni.
Penyaliban adalah apa yang ditanggung Allah dalam Kristus saat Ia mengampuni.
Salib adalah tempat dimana Allah menyerap dosa dan mendaur ulangnya menjadi pengampunan.
Salib bukan usaha terakhir untuk mengubah pikiran Allah mengenai kita.
Salib adalah usaha terbesar untuk mengubah pikiran kita tentang Allah.
Allah bukan seperti Kafayas yang mencari kambing hitam, bukan seperti Pilatus yang mengharuskan adanya penjatuhan hukuman.
Allah itu seperti Yesus, menyerap semua dosa dan mengampuni para pendosa.
Salib bukan tentang pembayaran.
Salib adalah tentang pengampunan.
Peristiwa salib sama sekali bukan tentang murka Allah.
Itu tentang cintaNya.
Kalvari bukan tempat dimana kita melihat betapa adilnya Allah.
Kalvari adalah tempat dimana kita bisa melihat betapa tak adilnya peradaban manusia.
Selama kita berpikir Yesus mati buat Allah, ketimbang buat kita, kita tak kan mampu melihat betapa berdosanya peradaban manusia dan betapa agungnya alternatif ilahi : Kerajaan Allah.
Keadilan Allah bukan keadilan yang menghukum, karena pada akhirnya keadilan yang menghukum tidak mengubah apapun.
Keadilan Allah adalah keadilan yang restoratif, yang memulihkan.
Satu-satunya yang Allah sebut sebagai keadilan adalah menata bumi kembali seperti sebagaimana ia diciptakan, bukan menghukum yang tak bersalah.
(Kesadaran keadilan yang menghukum diturunkan dari kenyataan bahwa kita lebih terhukum OLEH dosa kita, ketimbang BAGI dosa kita).
Intinya adalah ini : Allah TIDAK MENYEBABKAN Yesus mati.
MANUSIA yang melakukannya.
KITA yang melakukannya.
Yesus yang menanggung dosa dalam cinta dan mengampuni kita.
Bapa membela AnakNya di hari Kebangkitan. Sekarang Yesus memanggil kita mengikuti Dia ke Kerajaan Kasih Karunia.
Kerajaan Cinta kasih.
Kerajaan Allah.
Mari kita ikuti Sang Anak Domba.
[Brian Zahnd : Jesus Died for Us…Not for God, 1 April 2015]
*) Diterjemahkan oleh Mona Yayaschka/dailygracia