Diakonia.id – Kawasan Tigray di Ethiopia yang sedang dilanda konflik dilaporkan kembali digempur oleh serangan udara yang menyebabkan beberapa orang terluka.
Pertikaian antara milisi dan pasukan pemerintah di wilayah yang berbatasan dengan Eritrea dan Sudan itu berlangsung sejak awal November.
Laporan tentang serangan udara itu disampaikan oleh seorang sumber anonim kepada CNN.
Dilansir CNN, Jumat (20/11), pasukan federal Ethiopia menggempur pemerintah regional Tigray ketika Perdana Menteri Ethiopia, Abiy Ahmed, mengumumkan menggelar operasi militer, termasuk serangan udara.
Konflik itu meletup akibat keputusan pemerintah Tigray yang memilih untuk otonom, dan bertentangan dengan keinginan Abiy.
“Operasi kami bertujuan untuk mengakhiri impunitas yang telah berlangsung terlalu lama dan meminta pertanggungjawaban individu dan kelompok di bawah hukum negara,” ujar Abiy saat itu.
Sumber anonim tersebut mengatakan, sejak itu ibu kota Tigray, Mekelle, selalu dibombardir, termasuk di dekat sebuah gereja dan universitas. Sejumlah penduduk sipil tewas dan terluka akibat serangan itu.
Pemerintah Ethiopia tidak segera menanggapi permintaan konfirmasi dari CNN, tetapi sebelumnya mereka membantah membombardir kawasan pemukiman sipil. Mereka malah menuduh milisi Tigray menyembunyikan persenjataan di sekolah hingga rumah ibadah.
Juru Bicara Satuan Tugas Darurat Negara Bagian Ethiopia, Redwan Hussein, mengatakan kepada CNN pada Rabu lalu kalau pasukan pemerintah federal telah mendekati Mekelle.
Partai politik yang berkuasa di Tigray, Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF), menolak menyerah. Mereka menuduh pasukan federal membunuh warga sipil, meski dibantah oleh pemerintah Ethiopia.
Akan tetapi CNN belum bisa memverifikasi klaim dari kedua belah pihak dikarenakan pembatasan jaringan komunikasi.
Sumber itu juga menuturkan kepada CNN bahwa puluhan ribu orang telah mengungsi sejak pertempuran meletus.
Pada awal November, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan lebih dari 30 ribu penduduk Ethiopia mengungsi ke Sudan untuk menghindari konflik di daerah Tigray.
Sejumlah lembaga bantuan kemanusiaan yang beroperasi di wilayah itu memperingatkan kondisi di wilayah itu semakin memprihatinkan, dan mendesak kedua belah pihak membuka akses ke zona konflik itu.
Komite Palang Merah Internasional (ICRC) mengatakan ada seribu orang yang meminta bantuan bagi keluarga mereka, melalui kantor perwakilan di Mekelle dan Addis Ababa.
Konflik itu meletup karena Abiy mencoba mengubah sistem politik federalisme etnis yang selama ini diterapkan di Ethiopia.
Sistem itu mengatur pembagian kekuasaan berdasarkan etnis. Hal itu mulanya membuat setiap etnis diberi hak untuk memerintah kawasan tertentu terhadap kelompok etnis individu yang menjadi minoritas sebelumnya. Namun, sistem itu menguntungkan etnis minoritas Tigray di tingkat federal.
Abiy ingin menggabungkan partai politik yang berlandaskan etnis dan kawasan, Front Demokratik Revolusioner Rakyat Ethiopia, dengan Partai Kemakmuran. Namun, TPLF merasa kekuasaan mereka terancam dengan rencana Abiy, baik secara politik dan militer.
TPLF lantas menolak bergabung dengan Partai Kemakmuran, dan membuat mereka serta pemerintah federal bertikai. Perseteruan semakin tajam akibat hasil pemilihan umum di Tigray pada September lalu yang dipermasalahkan.
Sebab pemerintah pusat Ethiopia menunda pemilu dengan alasan pandemi virus corona. Karena kedua belah pihak tetap berkeras, alhasil hal itu memicu pertikaian bersenjata dan kini mengarah kepada situasi perang sipil
(ans/ayp/CNN)