Natal adalah hari raya besar yang dirayakan oleh jutaan umat Kristen di seluruh dunia. Namun, saat perayaan Natal berlangsung dengan keramaian dan lampu berkelap-kelip, di salah satu tempat di belahan bumi tidak ada perayaan seperti ini.
Korea Utara tidak memperingati Natal secara publik, mungkin dirayakan secara rahasia, khususnya pada 2016 yang merupakan tahun peringatan seorang martir Kristen yang meninggal di pinggir Sungai Taedong di Pyongyang.
Tidak ada yang tahu berapa banyak orang Korea Utara yang memperingati kelahiran Yesus Kristus berabad-abad lalu. Bagi warga Korea Utara, menunjukkan kepercayaan agama dapat berakibat masuk penjara, atau bahkan lebih buruk lagi.
Dengan kondisi itu, sulit mengetahui siapa warga Korut yang ingat kematian seorang misionaris 150 tahun yang lalu di tepi Sungai Taedong.
Robert Jermain Thomas adalah sosok asal Wales yang membawa ajaran Kristen ke Semenanjung Korea. Atas peran besarnya tersebut, hari meninggalnya Thomas pada akhir Agustus 1866, diperingati secara besar-besaran di gereja-gereja di Cardiff, Wales dan Seoul, Korea Selatan.
Tapi, di Pyongyang, tempat di mana Thomas meninggal karena membela agama, tidak ada perayaan sama sekali.
Sebab-sebab pasti kematiannya masih belum jelas, tapi diketahui bahwa dia adalah seorang misionaris yang dikagumi oleh Korea. Pada saat pengaruh Barat ditakuti dan ditolak, Thomas berlayar dengan kapal Amerika untuk menyebarkan Kristen. Kekerasan dan pertarungan sengit terjadi antara awak kapal dan orang-orang Korea di daratan saat itu.
Pada satu versi cerita, Thomas meninggalkan kapal yang terbakar dan ditangkap oleh pasukan di darat. Dikatakan bahwa dia saat itu berlutut dan memberikan sebuah injil kepada algojonya sebelum Thomas dibunuh.
Legenda tentang Thomas dan teladannya
Legenda tersebut menggaung dengan keras 150 tahun kemudian di Korea Selatan, dan di tempat asalnya, Wales.
Orang-orang Korea Selatan merasa Thomas dan teladannya sangat berpengaruh dalam hal menyebarkan ajaran Kristen.
Gi Jung Song, seorang pastor dari Korea di Cardiff mengatakan kepada BBC, “Korea berada pada masa-masa kegelapan spiritual dan pria muda tersebut (red: Robert Jermain Thomas) dari Wales membawa injil. Dia dibunuh sesaat setelah kedatangannya tapi kematiannya berpengaruh di seluruh Korea. Orang yang membunuhnya menjadi penganut Kristen dan rumahnya menjadi gereja.”
Pengaruh tersebut tumbuh berkembang setelah kematian Thomas. Pyongyang menjadi pusat Kristen yang kuat dengan munculnya ratusan gereja 15 tahun kemudian.
Selang satu abad berlalu, Korea mulai mencari inspirasi di Wales. Imbasnya, Welsh Religious Revival 1904 digemakan oleh penganut Kristen di Korea pada 1907.
Pada saat-saat ini, beberapa penganut Kristen taat mengunjungi Korea Utara.
Para dokter dari Wales, contohnya, membantu membangun sebuah sekolah medis di Pyongyang, tapi mereka diundang ke sana karena keahlian mereka.
Seorang penganut Kristen yang sering mengunjungi Korea Utara mengatakan kepada BBC bahwa waktu dia pergi ke Pyongyang, dia diam-diam mencoba untuk mencari tempat peristirahatan terakhir Robert Jermain Thomas,
“Saya belum berhasil menemukan makamnya, tapi di pulau tersebut (di tengah-tengah Pyongyang, tempat ia diperkirakan meninggal) ada satu-satunya kawasan di mana perahu dapat berlabuh dan ada pepohonan tua di sana.”
Pepohonan ini, katanya, dijaga sebagian karena merupakan tempat pertemuan antara Kim Il-sung, bapak diktator pertama Korea Utara, dengan Syngman Rhee, presiden pertama Korea Selatan.
Mencari keberadaan Robert Jermain Thomas
Tapi, mungkin pepohonan tersebut juga tempat meninggalnya Thomas.
Seorang Korea di Wales, Jacob Park, mengatakan dia telah bertemu dengan para pembelot Korea Utara yang mengatakan mereka mengetahui tentang kematian Thomas tapi tidak mengetahui tentang maknanya.
“Para pembelot mengetahui tentang Robert Jermain Thomas sebelum mereka meninggalkan Korea Utara, tapi mereka diberi tahu bahwa Thomas adalah pencuri dan sosok imperialis. Waktu mereka mengetahui cerita sebenarnya, mereka menerima Thomas sebagai pahlawan.”
Orang-orang Kristen di Korut, seperti penduduk lainnya negara itu, merasa susah untuk mendapatkan informasi yang dapat dipercaya. Ada empat gereja di Pyongyang, tapi sulit diketahui apakah gereja-gereja tersebut merupakan tempat peribadatan yang benar.
Ada banyak informasi di media massa tentang Korea Utara, banyak di antaranya tidak kredibel, jadi susah dipastikan apakah berita-berita yang beredar adalah benar.
Pada September 2016, kelompok pegiat Kristen, Christian Solidarity Worldwide, menerbitkan sebuah laporan yang mengatakan, “Di antara hak-hak asasi manusia yang disangkal oleh Korea Utara, kebebasan beragama atau kepercayaan sebagian besar tidak diakui. Penyangkalan hak asasi ini terjadi sejak 1950-an, dan pemimpin saat ini, Kim Jong-un, melanjutkan melanggar kebebasan beragama warga negaranya.”
Kelompok Kristen tersebut mengatakan bahwa rezim mengklaim ada sekitar 500 gereja tak resmi di Korea Utara di mana orang-orang beribadah di rumah. Grup tersebut merasa skeptis.
Misionaris Kristen lain di Korea
Informasi yang tak disangkal kebenarannya adalah mereka yang mencoba menyebarkan ajaran Kristen ke Korea Utara dimasukkan ke dalam penjara dan melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar, kadang-kadang setelah mereka diancam dengan eksekusi mati.
Pada Desember 2015, seorang pastor dari Toronto, Kanada, Hyeon Soo Lim, ditahan di Korea Utara -seperti yang dikatakan oleh pihak berwenang- atas percobaan untuk menggulingkan pemerintahan.
Para pejabat Kanada berkunjung ke Korea Utara pada Desember 2016 untuk memohon melepaskannya. Seorang diplomat Kanada mengatakan setelah itu, “Pemerintah Kanada sangat mengkhawatirkan kesehatan, kondisi mental, dan kelanjutan penahanan Lim.”
Dia bukan satu-satunya korban penangkapan Korea Utara atas umat Kristen.
Pada musim semi tahun ini, seorang pendeta yang bekerja di Cina untuk membantu para pembelot dari Korea Utara ditemukan terbunuh setelah dipukuli dan diserang dengan sebuah kapak.
Kelompok pegiat Kristen menduga agen-agen Korea Utara beroperasi di perbatasan Cina.
“Han Choong Yeol aktif membantu pengungsi Korea Utara dengan memberikan makanan, obat-obatan, baju dan keperluan lain yang mereka butuhkan untuk bertahan di Korea Utara,” kata Open Doors, organisasi yang membantu umat Kristiani yang tertindas di seluruh dunia.
Robert Jermain Thomas, tampaknya, bukanlah martir Kristen terakhir di Korea. [BBC]