
RSUD Tangerang dirundung kontroversi setelah menerapkan aturan berbasis syariah bagi pasien mereka. (Hak atas foto: BBC)
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tangerang yang telah meraih sertifikasi syariah mengatakan tidak membedakan pasien atas dasar agama.
Tetapi sejumlah pengamat menyebut predikat rumah sakit syariah berpotensi mengganggau psikologis pasien dari kalangan non-Muslim.
Kementerian Kesehatan sendiri meminta rumah sakit yang dikelola pemerintah daerah bersikap netral. Namun pemerintah pusat mengklaim tak punya kewenangan memaksakan anjuran tersebut.
Tahun 2017 atau tiga tahun setelah didirikan, RSUD Tangerang lolos uji Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Mereka mendapat predikat paripurna atau nilai tertinggi dalam proses penilaian tingkat nasional itu.
Berbekal poin akreditasi tersebut, manajemen RSUD Tangerang mengajukan ujian sertifikasi syariah, demi citra pemerintah kota dengan warga mayoritas Muslim yang memiliki akhlakul karimah alias hidup sesuai ajaran Islam.
Maret lalu, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia menyatakan tempat berobat itu 100% memenuhi prinsip syariah.
“Kota Tangerang adalah kota akhlakul karimah. Rumah sakit ini bisa jadi rumah sakit syariah, apalagi mayoritas masyarakat Banten muslim,” kata juru bicara RSUD Tangerang, Lulu Faradis, Rabu (13/06).
“Dari sisi kenyamanan pasien, kami bisa lebih dari yang sebelumnya. Jadi standar yang utama sudah kami lakukan, ditambah dengan syariah, itu bonus atau nilai tambah,” ujar Lulu kepada BBC Indonesia.
Merujuk data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Tangerang, tahun 2014 setidaknya terdapat 1,4 juta warga Muslim di kota tersebut.
Kebaikan dirasakan pasien non-Muslim
Sementara itu, jumlah umat agama lainnya tidak mencapai 100 ribu orang, antara lain Kristen Protestan (93 ribu), Katolik (44 ribu), dan Hindu (2,8 ribu).
Meksi bertitel syariah, Lulu menyebut RSUD Tangerang tetap terbuka untuk pasien maupun tenaga medis dari latar agama selain Islam. Ia mengklaim tidak ada gejolak atau penurunan jumlah pasien dan pekerja dari kalangan non-Muslim.
“Pekerja kami datang dari latar bekalang berbeda. Pasien yang berobat ke tempat kami juga bukan muslim saja,” ujarnya.
“Di kawasan rumah sakit ini banyak yang warga Tionghoa, banyak dari mereka berobat ke kami. Jadi kebaikan syariah juga dirasakan oleh kalangan non-Muslim,” kata Lulu.
Pro-kontra RSUD Tangerang sebagai rumah sakit syariah mencuat pekan ini.
Pembicaraan di media sosial muncul setelah unggahan foto ketentuan manajemen rumah sakit bahwa pasien rawat inap hanya boleh ditemani suami atau istri atau sanak famili.
Aturan yang tadinya dipasang di dinding rumah sakit itu telah diturunkan, antara lain atas saran Wali Kota Tangerang, Arief Wismansyah, untuk menghindari polemik.
“Kami akan mengkajinya satu atau dua bulan ke depan akan kami pasang dengan kalimat yang lebih umum, yang tidak menimbulkan persepsi muslim semata,” kata Lulu Faradis.
Kementerian Kesehatan mengaku tidak pernah mendorong rumah sakit milik pemerintah untuk mengejar status syariah. Sebaliknya, mereka meminta tempat berobat yang dibiayai dana negara untuk menghindari simbol dan jargon agama tertentu.
“Sebaiknya rumah sakit pemerintah bersikap netral,” kata Juru Bicara Kementerian Kesehatan, Widyawati Rokom.
Bagaimanapun, predikat syariah bukan pendorong utama warga Tangerang berobat ke RSUD itu.
Sebagian pasien menyebut tidak ada perbedaan berarti sebelum dan sesudah sertifikat syariah dipegang rumah sakit milik pemda tersebut.
“Saya pilih rumah sakit yang dari pemerintah, karena saya tidak punya uang. Syariah tidak jadi pertimbangan, yang penting saya tidak mengeluarkan biaya,” kata pasien bernama Tinah.
Tinah adalah pemegang BPJS Kesehatan. Ia dan suaminya beberapa kali berobat ke RSUD Tangerang setelah mendapat rujukan dari puskesmas.
RSUD Tangerang menyatakan setiap hari terdapat 600-700 pasien yang berobat ke mereka. Hampir 90% dari pasien itu merupakan menggantungkan ongkos pengobatan dari BPJS.
Dinas sosial setempat menyebut 176.000 warga Kota Tangerang masuk dalam kategori miskin pada tahun 2018. Sekitar 4,9% dari total penduduk kota itu ada di bawah garis kemiskinan.
Adapun, Nurbaya, pasien lainnya, tidak melihat perbedaan pelayanan kesehatan setelah RSUD Tangerang meraih sertifikat syariah. Sejak enam bulan lalu ia rutin menjalani terapi di rumah sakit itu akibat patah kaki.
“Buat saya yang mana aja asal pelayanannya bagus. Pengobatan di sini biasa, obat-obatnya juga generik,” kata Nurbaya.
‘Berlebihan’
Status syariah untuk rumah sakit, terutama milik pemerintah, dianggap berlebihan oleh Ombudsman. Embel-embel itu dinilai dapat mempengaruhi psikologi pasien non-muslim.
“Rumah sakit pemerintah pusat itu untuk semua orang, kalau imbauan, buatlah imbauan untuk semua orang. Jangan diklaim agama Islam,” kata anggota Ombudsman, Ahmad Suaedy.
“Diskriminasi tidak hanya fisik. Ini minimal berpotensi mendiskriminasi secara psikis. Jika ditekankan seperti itu, orang akan merasa bukan bagian dari suatu kelompok,” ujar Suaedy, salah satu penggagas organ di bidang pluralisme, Wahid Institute.
Menurut Suaedy, aturan Islam hanya dapat dilekatkan rumah sakit ke urusan obat. Walau, kata dia, perihal halal obat sebenarnya juga telah diatur MUI.
“Sekarang sudah ada lembaga halal, sudah ada salurannya. Tidak perlu ada sertifikasi syariah di tingkat rumah sakit,” tuturnya.
Penilaian itu disanggah Sekretaris Dewan Syariah Nasional-MUI, Anwar Abbas.
Ia mengatakan, ketentuan rumah sakit syariah memang bernuansa Islami, tapi berlaku dan dapat diterima publik.
Abbas mendasarkan argumennya pada aturan bahwa pasien harus ditangani tenaga medis yang sesuai gendernya.
“Sekarang banyak dokter kebidanan laki-laki. Kenapa perempuan pilih dokter kandungan laki-laki? Karena hebat, itu lain cerita. Tapi kalau tidak, pasti dia pilih perempuan. Mereka pasti risih diobok-obok kemaluannya,” kata Abbas.
Anwar Abbas adalah satu dari dua penandatangan fatwa Dewan Syariah Nasional-MUI tentang pedoman penyelenggaraan rumah sakit berprinsip syariah. Pedoman itu diterbitkan Oktober 2016.
Penandatangan lainnya adalah Ma’ruf Amin, ketua MUI yang baru saja memenangkan pemilihan presiden bersama Joko Widodo.
RSUD Tangerang pun bersikukuh akan terus menjalankan prinsip syariah dalam operasional keseharian mereka. Lulu Faradis, juru bicara rumah sakit itu, menyebut lembaganya akan bersandar pada pedoman yang dibuat Dewan Syariah Nasional.
Lulu menyebut delapan pokok aturan syariah dalam rumah sakitnya, antara lain tenaga medis wajib membaca basmalah sebelum tindakan serta jam bedah tidak boleh bertabrakan dengan waktu salat.
Tenaga medis RSUD Tangerang juga wajib memberi hijab bagi pasien perempuan, meski tak wajib dipakai, kata Lulu.
Aturan syariah lainnya antara lain bagian tubuh pasien yang boleh dibuka saat bedah hanya yang dioperasi, demi menutup aurat.
“Jadi tidak ada diskriminasi pasien. Rumah sakit kami non-kelas, semua ruangan kelas tiga. Tidak ada pembedaan pasien atas dasar agama,” ujar Lulu. [BBC]