Diakonia.id – Gilang Nabaris menceritakan pengalamannya kala menjadi anggota kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) di Tegal, Jawa Tengah, beberapa tahun silam. Gilang sempat ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88 pada Agustus 2017, dan bebas dari Lapas pada Agustus 2020.
Dalam riwayatnya, Gilang mengungkapkan JAD Tegal yang hanya terdiri dari delapan orang itu kerap didoktrin oleh amir atau pemimpin mereka dengan berita-berita keadaan muslim di Timur Tengah.
“Pertama yang disampaikan tentang Imam Mahdi akhir zaman, jadi saya merasa inilah jalan saya untuk ikut sumbangsih pada agama saya. Di situ saya yakin doktrin begitu kuat karena yang disampaikan berita Timur Tengah terus,” tutur Gilang dalam program Mata Najwa yang ditayangkan di Trans7, Rabu (31/1) malam.
Gilang pun mengaku awal mula ketertarikannya dengan jaringan JAD saat berempati atas kondisi muslim di Timur Tengah seperti Palestina dan Suriah. Akhirnya, ia mencoba mencari jaringan yang mampu mengantarkannya ke Suriah kala itu. Dari pintu ke pintu pengajian, Gilang akhirnya bergabung dalam jaringan JAD di tempat asalnya, Tegal.
Gilang pun mengaku kala itu lebih banyak diajari latihan fisik oleh pimpinannya. Ia kerap disuruh naik gunung, berenang, dan juga belajar bela diri. Gilang juga mengaku tak langsung diajari merakit bahan peledak, sebab menurutnya ia fokus untuk pemberangkatan di Suriah.
Namun demikian, sebelum Gilang akhirnya dikirim ke Suriah, ia terlebih dahulu tertangkap usai bertugas mengirimkan uang sebesar Rp300 juta ke Filipina melalui western union.
“Namun tidak semua tahu karena rencana yang dibebankan kepada kita masing-masing anggota, tidak boleh bocor kepada teman kita sendiri,” jelasnya.
Setelah bebas dari Lapas, Gilang mengaku sudah tidak berhubungan lagi dengan anggota JAD, bahkan ia mengaku telah dimusuhi mereka. Gilang mengatakan setelah ia membaca ikrar setia pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), para anggota JAD memutus kontak dengannya.
Dari kejadian itu, Gilang menyadari bahwa gerakan yang ia ikuti tidak menjunjung persatuan di dalam kelompoknya sendiri seperti yang ia idamkan sebelumnya.
“Justru ketika saya masuk ke rutan mereka saling mengkafirkan, padahal kita satu organisasi, senasib di rutan. Lalu saya mikir kalau seperti itu, di mana persatuan kita?” kata dia.
Atas pengalamannya itu, Gilang mewanti-wanti kepada seluruh orang tua beserta keluarga untuk ikut memantau aktivitas anak mereka. Sebab, usia keemasan yang menjadi sasaran jaringan ini adalah anak muda berusia 17-24 tahun.
“Intinya apapun di luar sana, ketika mengajak untuk istilahnya kekerasan atau membunuh dan melakukan bom, harus diwaspadai,” ujarnya.
Pendiri JAD Oman Rochman alias Aman Abdurrahman saat menjalani sidang sebagai terdakwa kasus serangan bom Thamrin di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat, 25 Mei 2018. (CNN Indonesia/Safir Makki)
|
Pada 2018 lalu, Jamaah Ansarut Daulah (JAD) divonis sebagai organisasi terlarang oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. JAD pimpinan Zainal Anshori alias Abu Fahry alias Qomaruddin bin M Ali. Hakim pun dibekukan.
Hakim PN Jaksel memvonis JAD sebagai korporasi tindak pidana terorisme. Organisasi ini disebut berafiliasi dengan kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Awal mula pembentukan JAD diinisiasi oleh Aman Abdurrahman di Lapas Nusakambangan pada 2014. Aman saat itu mengumpulkan para pengikutnya, antara lain Abu Musa, Zainal Anshori, dan Marwan.
Aman kemudian menunjuk Zainal sebagai pemimpin karena mengetahui Zainal dan Marwan punya banyak pengikut di Jawa Timur, terutama yang mendukung khilafah dan ISIS dengan pimpinannya Abu Bakar Al Baghdadi.
JAD dinilai bertanggung jawab atas serangkaian teror di berbagai daerah sejak 2016. Beberapa di antaranya teror bom Thamrin (Jakarta Pusat), Kampung Melayu (Jakarta Timur), hingga Gereja Ouikumen Samarinda (Kalimantan Timur).
(khr/pmg)