Diakonia.id – AKHIR-AKHIR ini, halaman media online dan media sosial disesaki oleh berita dan tayangan mengenai ujaran kebencian dan aksi dari segelintir orang yang tak selaras dengan napas kebhinekaan hidup berbangsa Indonesia.
Salah satu berita dan tayangan yang viral dan menyita perhatian publik adalah video aksi seorang pria membuang dan menendang sesajen di lokasi terdampak erupsi Semeru.
Aksi tersebut segera mendapat kecaman dari berbagai kalangan.
Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Lumajang, Muhammad Muslim menyebut apa yang dilakukan pria tersebut kurang beradab.
Tak hanya itu, Muhammad Muslim juga menyesalkan aksi pria tersebut.
“Sebagai perwakilan dari Kementerian Agama, terus terang saya merasa kaget dengan peristiwa ini dan sangat menyayangkan. Karena itu adalah tindakan yang kurang beradab,” kata Muhammad Muslim kepada media, Senin, 10 Januari 2022.
Toleransi beragama
Pembukaan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang ditandatangai 26 Juni 1945 menegaskan bahwa mempraktikkan toleransi adalah salah satu prinsip yang harus diterapkan untuk mencapai tujuan kerja sama internasional yang diusung PBB.
Tujuan utama PBB adalah memecahkan masalah internasional yang bersifat ekonomi, sosial, budaya atau kemanusiaan dan dalam mempromosikan dan mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia kebebasan bagi semua orang tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.
Deklarasi PBB tentang ‘Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan’ (1981) artikel 1 poin 1 menyebutkan:
“Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, hati nurani, dan beragama. Hak ini harus mencakup: kebebasan untuk memeluk agama atau kepercayaan apa pun pilihannya, dan kebebasan, baik secara individu maupun dalam masyarakat dengan orang lain dan di depan umum atau pribadi, untuk memanifestasikan agama atau kepercayaannya dalam ibadah, ketaatan, praktik dan pengajaran.”
Sementara poin 2 menandaskan bahwa: “Tidak seorang pun dapat dikenakan paksaan yang akan mengganggu kebebasannya untuk memeluk agama atau kepercayaannya pilihan.”
Deklarasi tersebut berkaitan dengan pentingnnya konsep toleransi dalam kehidupan beragama yang menurut (Suparta dkk, 2009:197), meliputi:
(1) Menghargai keberadaan suatu agama yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu diwujudkan dengan mampu melaksanakan ritual peribadatan dengan baik, dapat merayakan liburan keagamaan dengan aman, mampu menjalankan tradisi berdasarkan agama dengan baik tanpa campur tangan pihak manapun;
(2) tidak mengganggu kehidupan pemeluk agama lain;
(3) antarpemeluk agama dapat saling membantu bila perlu, sejauh tidak perlu bertentangan dengan ajaran agamanya masing-masing.
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa toleransi beragama adalah kemampuan untuk menghormati, dan tidak mengganggu kehidupan pengikut agama lain.
Makna hakiki toleransi terletak pada sikap adil, jujur, sikap objektif dan memungkinkan orang lain untuk melakukan hal yang berbeda dalam pendapat, kebiasaan, ras, agama, kebangsaan, dan suku (etnis) dengan kita.
Toleransi adalah kemampuan untuk menghormati keyakinan dan perilaku orang lain yang berbeda dengan diri atau kelompok sendiri.
Platform toleransi beragama
Doktrin toleransi menjadi bagian tidak terpisahkan dari doktrin Kekristenan. Konsili Vatikan II (1965), misalnya, menyatakan bahwa pribadi manusia memiliki hak atas kebebasan beragama.
Kebebasan ini berarti bahwa semua orang harus kebal dari paksaan oleh individu atau kelompok sosial dan kekuatan manusia, sedemikian rupa sehingga tidak seorang pun dipaksa untuk bertindak dengan cara yang bertentangan dengan keyakinannya sendiri, baik secara pribadi atau di depan umum, baik sendiri atau bersama-sama dengan orang lain, dalam batas-batas yang ditentukan.
Konsili II selanjutnya menyatakan bahwa hak atas kebebasan beragama didasarkan pada martabat pribadi manusia sebagaimana martabat ini diketahui melalui firman Allah yang diwahyukan dan oleh akal budi itu sendiri.
Hak pribadi manusia atas kebebasan beragama ini adalah untuk diakui dalam hukum tata negara di mana masyarakat diatur dan dengan demikian menjadi hak sipil.
Aloys Budi Purnomo (2021) menyatakan bahwa toleransi tidak lain adalah manifestasi dari iman yang berlaku dalam setiap tindakan orang beriman.
Agama diperlukan untuk mewujudkannya keyakinan pada tingkat praktis setiap hari.
Perwujudan realistis dari keyakinan adalah melakukan kebaikan, harmonis, saling pengertian dan saling menerima.
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap agama sangat menganjurkan kehidupan yang baik, harmoni dan saling menghormati antarpemeluk agama.
Itu berarti semua umat beragama dipanggil dan diutus untuk bertoleransi: saling menghargai, saling menghormati dan saling mengasihi dengan menggunakan semua bakat dan talentanya untuk kemanusiaan.
Mulai dari keluarga
Perilaku toleransi antarumat beragama tidak bisa muncul tiba-tiba, tetapi harus ditanamkan, ditumbuhkembangkan dan dipelihara sejak dini, semenjak seseorang masih sebagai anak-anak.
Itu berarti, keluarga bertanggung jawab membantu seorang anak untuk belajar dan berlatih untuk hidup bertoleransi: menghargai perbedaan dan belajar hidup serta bekerja sama dengan orang lain.
Sebetulnya, upaya itu tidak sulit karena secara naluriah setiap keluarga menghendaki yang terbaik bagi anak-anaknya.
Sementara itu, anak-anak secara naluriah bersifat tulus hati dan bersedia bermain dengan rekan seusianya, tanpa membedakan-bedakan suku, ras, dan agama.
Jadi, keluarga dapat secara bertahap menanamkan sikap menghargai perbedaan dan toleransi beragama kepada anak-anaknya melalui cara-cara sederhana.
Anak-anak mesti dibiasakan dan dilatih dalam kepekaan terhadap situasi sosial di sekitar melalui pengalaman riil sehari-hari.
Kearifan lokal
Sesungguhnya anak-anak Indonesia juga dapat dengan mudah belajar bagaimana para orangtua mereka mempraktikkan nilai kearifan lokal: bergotong-royong dalam konteks toleransi beragama.
Lebih daripada itu, dalam konteks berbangsa dan bernegara Indonesia, toleransi beragama dilegitimasi oleh Konstitusi: UUD 1945.
Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 menjadi landasan hukum yang memungkin setiap warga Negara Indonesia berhak dan bebas menjalankan agama yang dianutinya.
Pendekatan multidisiplin
Sejatinya, dari sisi doktrin agama, sisi sosial-budaya, dan hukum, warga bangsa Indonesia tidak memiliki halangan berarti untuk mempratikkan toleransi hidup beragama.
Makanya berita intoleransi yang belakangan ini beredar sepertinya adalah bentuk penyimpangan atau defiasi.
Artinya, seorang berperilaku intoleran karena memiliki pemahaman yang keliru tentang doktrin agama.
Boleh jadi, ia bersikap intoleran karena mengalami kemerosotan nilai-nilai sosial-budaya.
Dan, boleh jadi juga, orang bersikap intoleran karena menderita ganguan jiwa atau gangguan kepribadian.
Dalam perspektif demikian, maka penanganan terhadap oknum-oknum pelaku tindak intoleransi tidak cukup dilakukan melalui pendekatan hukum saja.
Kita perlu mengembangkan pendekatan multidisilpin atas mereka. Yaitu, mereinternalisasi doktrin agama, merevitalisasi nilai sosial-budaya, dan melakukan pemeriksaan kejiwaan supaya yang bersangkutan mendapatkan penanganan dan pengobatan sesuai jenis gangguan jiwa yang dialaminya.
Penulis: Hasanuddin Wahid / Sekjen PKB (dengan pengubahan seperlunya)