Diakonia.id – Pengurus Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LAKPESDAM PBNU) M. Najih Arromadloni mengatakan moderasi beragama menjadi cara terbaik dalam memerangi radikalisme dan terorisme.
“Pengertian moderasi beragama itu tidak menciptakan agama baru, tetapi mengembalikan agama pada karakter aslinya yang memang sudah moderat,” kata Najih dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Jadi, tidak ada pemisahan antara agama yang moderat ataupun radikal. “Agama itu pada dasarnya moderat, pemeluknya-lah yang membawa agama itu untuk tindakan ekstrem,” kata Najih.
Menurutnya, radikalisme dan terorisme adalah bentuk kejahatan yang sangat kompleks. Walaupun berbagai aksi dan dampak buruknya bisa teratasi, tetapi bahaya latennya tetap menghantui. Hal ini disebabkan oleh bibit radikalisme yang sudah mengakar kuat dalam pemikiran, relatif sulit pendeteksiannya bila dibandingkan dengan tindak kejahatan lainnya.
Oleh karena itu, ia juga menekankan pentingnya untuk mengutamakan moderasi beragama ketika bermunculan ekstremisme di tengah masyarakat sehingga moderasi beragama harus digaungkan untuk menjadi solusi bagi semua.
“Masyarakat tentu masih ingat bahwa Indonesia sempat mengalami turbulensi politik yang cukup keras karena permainan kelompok radikal yang menggoyang stabilitas nasional. Beberapa kali perhelatan pemilihan umum, baik di tingkat daerah maupun nasional, diwarnai dengan kerasnya politik identitas dan menjurus pada dikotomi murahan yang isinya ‘si baik melawan si jahat’,” ujar Najih.
Salah satu contohnya adalah peristiwa demonstrasi 212 di tahun 2016, persis sebelum Pilkada DKI dilangsungkan pada 20 April 2017. Politisasi agama yang dilakukan saat itu ternyata bisa menimbulkan efek berantai sedemikian besar.
“Show of force kelompok radikal yang menunggangi aksi 212 sebenarnya tidak terjadi secara instan, melainkan mereka telah menancapkan pengaruhnya pada beberapa instansi, mulai dari perguruan tinggi hingga pemerintahan,” lanjut Najih.
Najih menguraikan, peristiwa demonstrasi 212 menjadi titik balik yang membuka mata banyak orang, bahwa ada persoalan intoleransi dan radikalisme yang harus ditangani dengan segera.
Ormas-ormas seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah kemudian mulai bergerak dengan semakin banyak mempublikasikan narasi moderat ke tengah masyarakat. Ormas moderat inilah yang kemudian mendorong pemerintah untuk membubarkan beberapa organisasi Islam radikal yang saat itu cukup kuat pengaruhnya.
“Kita bisa lihat bagaimana organisasi seperti NU yang giat menuntut pemerintah untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). NU juga terus menyuarakan supaya Salafi dan Wahabi itu bisa dibendung perkembangannya, karena dikhawatirkan akan membahayakan kehidupan masyarakat kita yang bhinneka ini,” imbuh pria yang biasa disapa Gus Najih.
Mencuatnya berbagai aktivitas jaringan teror seperti Negara Islam Indonesia (NII), lanjut Gus Najih, juga sempat menyita perhatian publik. Pada perkembangannya, NII pun ditetapkan masuk dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT).
Menurutnya, kesadaran dan kewaspadaan yang terbangun dari kaum moderat yang aktif di masyarakat seperti kiai, santri dan aktivis moderasi beragama juga ikut berkontribusi pada penetapan keputusan hukum ini.
Lebih lanjut, Gus Najih mengungkapkan bahwa perhelatan politik dan radikalisme seringkali berjalan secara beriringan.
Aksi yang dijiwai oleh radikalisme akan cenderung naik pada masa pemilihan umum di suatu negara. Tidak hanya Indonesia, aksi teror seperti ini juga mengakibatkan destabilisasi di banyak negara.
“Jaringan teror memiliki kesamaan pola dalam melakukan aksinya, salah satunya dengan menjadikan pemilihan umum sebagai pintu masuk propaganda radikal,” ungkap Gus Najih.
Ia mencontohkan kota Peshawar yang ada di Pakistan. Panggung kampanye dari kubu tertentu dihancurkan dan para pelaku teror melepaskan tembakan ke arah panggung hingga melukai dan menewaskan banyak korban.
Begitu juga di Jepang, saat mantan Perdana Menteri Shinzo Abe ditembak oleh pelaku radikal saat ia sedang jadi juru kampanye dan menyampaikan pidatonya.
Menurutnya, aksi teror yang dilakukan kelompok radikal biasanya berbarengan dengan framing negatif terhadap suatu hal, seperti di tengah upaya membumikan toleransi pada keberagaman, kelompok radikal melakukan framing terhadap moderasi beragama.
Mereka, tambah Gus Najih, melakukan pembusukan terhadap istilah moderasi beragama, dianggapnya sebagai pelemahan terhadap agama dan mereka sangat menolaknya.
“Kenapa mereka harus anti? Padahal karakter inti dari agama itu sendiri, termasuk Islam, adalah moderat. Moderat itu dalam Bahasa Arab yaitu wasathiyah. Wasathiyah itu kan istilah yang ada dalam Quran. Ayatnya berbunyi “wa kadzaalika ja’alnaakum ummatan wasatho,” yang berarti “dan demikian itu Kami menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat yang wasathiyah,” tandas Gus Najih.