Tidak dapat dipungkiri, gereja adalah salah satu institusi yang tidak transparan mengenai masalah keuangan. Beberapa lembaga gereja tidak memiliki sistem keuangan yang baik, bahkan dengan sengaja dibiarkan buruk sehingga peluang manipulasi tersedia. Banyak kasus penggelapan dan penyunatan harta “Tuhan” yang terjadi demi kepentingan pribadi pimpinan dan dewan-dewan gereja (contoh kasus masih segar ingatan kita penjualan tanah PSKD di samping Kantor PGI Salemba, juga kasus gereja di Singapura). Bahkan tak jarang Gereja menjadi media pencucian uang (money laundry). Sungguh ironis sekali!
Pada akhir tahun kemarin saya mendapat selebaran/informasi mengenai keuangan gereja. Hal ini tentu saja sangat bagus, dan jujur saja ini sangat terkejut karena hal ini jarang saya temui. (saya hanya membaca sekilas, tidak sampai melakukan crosscheck/audit :D).
Saya kembali terkejut membaca saldo keuangan gereja dengan jumlah dana yang fantastis (ratusan juta, bahkan mungkin ada yang miliaran di beberapa gereja). Dan lebih terkejut lagi ketika pimpinan, dewan, bahkan jemaat membanggakan hal tersebut.
Gereja ( dan pelayanan lainnya) bukanlah institusi yang mencari keuntungan, kalau mau cari keuntungan kenapa gak buat jadi PT saja sekalian.
Ini artinya gereja tidak maksimal mengerjakan pelayanan (ok, kita asumsikan bahwa target pelayanan sudah tercapai semua ( yang mana saya sangat meragukan hal tersebut), tapi seharusnya bisa dibuat untuk pelayanan koinonia-marturia-diakonia lain. Gereja dan pelayanan di daerah banyak yang kekurangan dana, comdev (community development) banyak yang belum dikerjakan, pelayanan anak jalanan-marginal. Akh tidak usah jauh-jauh, untuk jemaat gereja sendiri bagaimana?
Untuk jemaat yang sakit atau meninggal saja, berapa dialokasikan? Nilai yang diberikan sangat kecil, tidak etis menyebutkan angkanya. Tapi yang pastinya nilai yang diberikan oleh gereja tersebut hanya sumbangan 1 orang di pelayanan persekutuan alumni.
Prinsip ekonomi “menabung”? Kekhawatiran kekurangan dana? Halo, saya bukan orang yang munafik, saya juga khawatir kekurangan dana sehingga saya perlu menabung (meski pada kenyataannya saya tidak pernah bisa menabung). Saya ingat statement dan nasihat beberapa senioran di persekutuan “Dana yang tersedia untuk periode tahun tersebut harus dihabiskan untuk periode tahun itu juga”. Allah memelihara hidup kita. Saya tidak perlu mengutip ayat-ayat di Alkitab mengenai hal ini. Burung-burung di udara saja Tuhan pelihara, bunga bakung di ladang didandaniNya begitu indah.
“Jangan kamu kuatir, burung di udara Dia pelihara … Jangan kamu kuatir, apa yang kau makan minum pakai … Jangan kamu kuatir, Bapa di surga memelihara”. Lagu ini kerap kita nyanyikan di gereja. Nadanya enak, liriknya bagus dan menghibur hati. Apakah gereja belum mengimani hal ini?
Efek dari ketimpangan dana ini salah satunya adalah para pendeta dan pelayan berebut untuk bertugas “melayani” di kota, bahkan tidak segan untuk menyogok pimpinan agar bisa dipindahkan ke kota. Dana dan persembahan perpuluhan atau sukarela dari pribadi jemaat (yang secara umum lebih kaya dibanding jemaat daerah-daerah) adalah madu yang sangat menggiurkan para pelayan Tuhan. Maaf saya tidak ingin berpikiran negatif, tapi memang itulah realitanya.
Well, sebelum Anda pembaca menghakimi saya kenapa saya tidak menyampaikan langsung ke gereja, kenapa hanya mengkritik saja (mengkritik kan gampang, anak SD juga bisa :p), kenapa dan kenapa, Saya sudah menyampaikannya.
Kenapa saya menuliskannya di media sosial yang malah akan membuka “aib/bobrok” bahkan mungkin menyebabkan kemarahan sebagian orang?
Sebagai orang yang memiliki latar belakang Teknologi Informasi (dan memiliki visi jadi politisi dan entrepreneur), saya percaya kekuatan media (sosial). Di media ini saya punya banyak teman pendeta dan para pelayan lainnya. Meski kemungkinan mereka membaca catatan ini tidak besar, kemungkinan itu selalu ada. Dengan harapan yang membaca mempunyai pemikiran dan kerinduan yang saya dengan saya. Dengan bersatu dan saling mengingatkan, kuat kita bersama.