“Dulu banyak orang Maluku di sini, tapi sekarang banyak yang pindah,” ungkapnya, datar. “Kini tinggal sedikitnya tujuh atau delapan keluarga.”
Ketika saya datangi awal Agustus lalu, saat terik matahari siang begitu menyengat, suasana senyap terlihat di ruas gang kecil di mana bangunan rumahnya berdiri.
“Di sini dulu namanya bukan Kramat Delapan, tapi Neuland.” Pak Caki menerima saya di ruang tamunya yang sederhana. Kami duduk di sofa berwarna oranye dengan pesawat televisi yang dibiarkan terus menyala.
Dilihat dari dekat, sebagian rumah orang-orang Maluku yang tinggal di gang sempit itu saling berdempetan. Beberapa sudut bangunan masih menyisakan masa lalunya, kendati sebagian besar rumah sudah dipugar.
Kelak, saya mengetahui bahwa generasi pertama orang-orang Maluku yang tiba di kampung itu tinggal dalam satu rumah berukuran besar yang kemudian disekat-sekat.

Tidak hanya tinggal di Kramat Delapan, orang-orang yang memiliki leluhur dari Maluku ini juga beranak-pinak di jalan Kramat Tujuh dan Enam. Dan tidak jauh dari lokasi itu, tinggal pula orang-orang Minahasa.
‘Keluarga saya tiba pada 1947’
Bagaimana awal mulanya Pak Caki dan orang-orang Maluku lainnya akhirnya tinggal berkelompok di kawasan tersebut?
Jawaban saya peroleh dari Jopie Taihuttu, yang bersama Pak Caki, termasuk orang-orang yang ‘dituakan’ di kalangan orang-orang Maluku di kawasan itu.
Jopie Taihuttu, yang berumur 70 tahun, bersama istri dan salah-satu anaknya, menempati sebuah rumah yang di depannya tumbuh pohon rindang. Dia tinggal di jalan Kramat Tujuh, sebuah wilayah yang dulu juga didiami mayoritas warga Maluku.
“Di tahun 60-an, saya masih bisa melihat banyak pohon kenari di jalan ini.” Mata Jopie terlihat menerawang jauh. Saya menemuinya ketika jarum jam menunjuk angka sembilan pagi, pekan kedua Agustus lalu.
Saya mewawancarai Jopie di halaman depan rumahnya. Dari tempat kami duduk, saya dapat melihat dua bangunan rumah peninggalan kolonial Belanda yang molek di seberang jalan. Salah-satu rumah itu kini masih ditempati keluarga asal Maluku.
“Kira-kira ada 15 keluarga (marga) Maluku yang pertama kali datang dan tinggal di Kramat Tujuh,” ungkap Jopie, memulai wawancara. “Antara lain, keluarga Berhitu, keluarga saya yaitu Taihattu, keluarga Rebok, Latumeten, Muskita, Haspers, Bakarbessy, Pieters.”
Jopie mengungkapkan, setelah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, keluarga-keluarga Maluku itu mulai tinggal di kawasan yang dia tempati sampai sekarang. Mereka tiba dalam beberapa gelombang.
“Keluarga ayah saya tiba di sini tahun 1947,” Jopie mengingat. Dan ketika pertama kali tiba di Kramat, ayah Jopie harus berbagi rumah dengan dua atau tiga keluarga lainnya. Sehingga, “keluarga papa saya tinggal dalam satu kamar.”
Dituduh ‘simpatisan’ Belanda
Saat wawancara, Jopie kemudian menyodorkan sebuah buku yang disebutnya “buku penting” tentang sejarah kehadiran warga Maluku di kawasan Kramat. “Saya merujuk pada buku itu,” katanya.
Buku berjudul ‘Sejarah Jemaat GPIB Eben Haezer di DKI Jakarta 1945-1995’ (1995) antara lain didasarkan wawancara sejumlah orang-orang generasi pertama Maluku di kawasan tersebut. Adapun bangunan gereja, yang didirikan pada 1948, berdiri di tengah-tengah jalan Kramat Tujuh.
Buku yang antara lain disusun oleh sejarawan RZ Leirissa itu, intinya, menyebutkan orang-orang Maluku, Minahasa, Timor mengungsi ke Kramat adalah akibat “prasangka buruk” sebagian warga Indonesia terhadap mereka.
“Di masa itu, terdapat prasangka buruk terhadap orang-orang Kristen, khususnya asal suku Maluku, Minahasa dan Timor,” demikian ungkap buku tersebut.
Prasangka buruk itu berintikan sikap apriori kelompok lain yang menuduh mereka sebagai ‘simpatisan’ Belanda. “Karena agama mereka adalah Kristen yang berasal dari negeri Belanda dan dididik oleh para penginjil dari Belanda.”
Akibatnya, timbullah rasa benci, gangguan dan ancaman dari kelompok lain terhadap orang-orang Kristen dari tiga suku tersebut, ungkap buku itu.
Bekas kamp interniran Belanda
Untuk menyelamatkan diri, maka orang-orang Maluku, Minahasa dan Timor, yang bermukim di berbagai tempat di Jakarta, berduyun-duyun mengungsi ke wilayah Kramat.
“Mereka anggap aman dan dapat bersama-sama dengan orang-orang Kristen sesama sukunya,” demikian keterangan para saksi mata yang dikutip buku tersebut.
Merujuk pada buku itu, Jopie mengatakan, ketika Jepang menduduki Indonesia, semua rumah milik orang-orang Belanda itu di Kramat dijadikan kamp penampungan tahanan perempuan dan anak-anak keluarga Belanda.
Dan setelah Jepang diusir, kamp-kamp itu dibiarkan kosong. “Nah, oleh para pemuka masyarakat Maluku pada saat itu, ‘sudahlah daripada orang-orang Ambon mengalami gempuran-gempuran’, masuklah ke area kosong ini,” kata Jopie.
Keluarga ayah Jopie semula tinggal di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur. Sebelum Jepang menguasai Indonesia, ayahnya bekerja di Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), perusahaan pelayaran milik pemerintah Belanda.
‘Dibuang ke sumur’
Dengan mimik terlihat tenang, Jopie kemudian mengisahkan kejadian yang sepertinya sulit dia lupakan, hingga kini. Saat itu, saat Revolusi fisik, ada satu keluarga Maluku di kawasan Jatinegara yang dibunuh kelompok massa karena isu negatif yang beredar. Ayahnya, Herman, pernah mengisahkan hal itu berulang-ulang.
“Zaman itu ‘kan chaos, ada rumor macam-macam, sehingga ada satu keluarga (asal Maluku) dibunuh. Papa saya bilang, satu keluarga dibunuh dan dibuang ke sumur.” Kejadian keji ini ikut menyadarkan ayahnya untuk mengungsikan keluarganya ke Kramat pada 1947.
Maka, berduyun-duyunlah orang-orang Maluku dan Minahasa memenuhi beberapa jalan di wilayah Kramat. Dari buku itu terungkap, ada kira-kira 120 kepala keluarga atau 360 jiwa yang menempati rumah-rumah di kawasan itu.
Ketika orang-orang Maluku itu masuk dan tinggal di rumah barunya, Jopie teringat cerita mertuanya. “Ketika mereka masuk ke rumah ini (Jopie menunjuk rumah di depannya), itu masih ada lemari es milik orang-orang Belanda.”
Bertemu Jonas Sirakota, Robby Tutuarima…
Usai mewawancarai Jopie, saya berjalan perlahan menuju gereja Eben Haezer -yang bersejarah itu. Persis di seberang bangunan gereja ada semacam gardu jaga dan di sanalah saya berkenalan dengan Jonas Sirakota dan Robby Tutuarima.
Ketika itu jarum jam waktu menunjuk sekitar pukul 10 pagi. Kedua pria kelahiran awal 1950-an itu tengah bersantai, mengobrol dengan empat rekannya seraya minum kopi. Saya memulai pertanyaan tentang bagaimana dia memaknai latar belakang atau identitas Ambon pada dirinya.
“Saya lahir di Jakarta. Sebenarnya (latar belakang) Ambonnya, karena asal-usul kakek saya,” Jonas, yang memelihara kumis tebal, membuka pembicaraan.
Namun di sisi lain, akunya, apa yang disebutnya sifat dan bawaan yang selama ini dilekatkan kepada masyarakat Ambon, sulit dia tanggalkan. “Jadi bawaan, karena didikan (orang tua dan keluarga).”
Walaupun demikian, Jonas mengaku tidak lagi menjalankan tradisi yang dulu dipraktikkan para leluhurnya di Ambon, Maluku. “Tradisi leluhur, bapak saya sudah di-putusin.”
Semenjak berkeluarga, pria kelahiran 1952 ini memilih meninggalkan rumah orang tuanya di Kramat. Seperti yang dilakukan generasi berikutnya, Jonas memilih untuk melebur dengan masyarakat di luar komunitasnya.
Tapi, “rasa kangen ya, gini, kumpul. Walaupun saya sudah tidak tinggal di sini, tetap balik ke sini. Mau merasakan suasana kayak dulu lagi… tapi enggak bisa. Kita enggak bisa terpana pada masa lalu saja.” Jonas mengutarakan harapannya.
Dijemput di kampung-kampung
Tumbuh besar dalam komunitas masyarakat Maluku di Kramat Tujuh, Jonas mengaku menemukan semacam kehangatan ketika bisa bertemu kawan-kawan masa kecilnya. “Apalagi kalau Natal, sangat terasa sekali suasananya di sini.”
Ketika saya menanyakan apakah dirinya masih ingat ketika orang tuanya mengungsi ke wilayah Kramat, Jonas lalu bercerita, “Ayah saya, Jacobus, dia itu tentara. Dia yang membawa orang-orang (Maluku) masuk ke sini. Dia yang menjemput ke kampung-kampung.”
Dia lantas teringat cerita ayahnya, para pria dewasa saat itu secara bergantian melakukan penjagaan di ujung gang untuk mengantisipasi serbuan orang-orang yang memiliki prasangka negatif terhadap mereka.
Saat saya mewawancarai Jonas, pria yang mengenakan topi pet bermotif kotak-kotak, Robby Tutuarima, memilih lebih banyak diam. “Robby ini jago main bola. Dia adiknya Berty Tutuarima, mantan bek timnas Indonesia,” Jonas kembali menimpali.
Lahir 1956 di Jakarta, Robby lama tinggal di kawasan Asem Lama, Jakarta, sebelum akhirnya pindah ke Kramat Tujuh. Sebagai pria berdarah Maluku dan menyukai sepak bola, dia dan warga Kramat Tujuh selalu menggelar nonton bareng setiap ajang Piala Dunia.
“Kita buka layar di depan sini.” Tangan Robby menunjuk lokasi layar itu ditancapkan. Bisa ditebak: mayoritas warga Kramat Tujuh akan mendukung timnas Belanda. Saya kemudian teringkat pawai anak-anak muda di Kota Ambon yang mendukung timnas Belanda pada Piala Dunia 2010 silam.
Obrolan kami pun diwarnai kelakar. Saya terpingkal saat Jonas dan Robby menggambarkan stereotype yang berkembang di komunitasnya. Mereka mengutarakannya saat saya bertanya, mengapa orang-orang Maluku lihai bermain sepak bola?
Tidak juga, kata Jonas. “Malah sulit mengumpulkan orang Ambon main satu klub. Semuanya ingin jadi kapten, tidak mau jadi anak buah.” Jonas terlihat serius dan saya mencoba terlihat serius.
Tapi kemudian Jonas ternyata terkekeh. “Kalau ntar temannya bilang, jaga di sana! Elo aja jaga di sana. Nyuruh-nyuruh gue lagi… ha-ha-ha…” Robby pun ikut mengembang senyumnya.
‘Masuk KNIL karena harus cari makan’
Kami memang mengobrolkan macam-macam, mulai sepak bola, masa kecil mereka di kampung Kramat Tujuh, hingga akhirnya menyinggung isu yang cukup sensitif di kalangan sebagian masyarakat Maluku, yaitu tentang hubungan leluhur mereka dengan KNIL.
Koninklijkk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL) adalah tentara Kerajaan Hindia Belanda, yang selain terdiri tentara Belanda, juga melibatkan orang Jawa, Minahasa, serta Maluku.
“Kakek saya dulu bergabung dengan KNIL,” ujar Robby singkat. Justru Jonas yang memberikan tanggapan lebih panjang: “Mereka (orang-orang Ambon) masuk KNIL itu karena situasi dan kondisi, mereka mesti makan. Siapa kasih makan, kalau mereka tidak kerja.”
Dan saat itu, saya kemudian menimpali, itu bisa terjadi karena pemerintah Belanda yang menguasai wilayah Hindia Belanda. “Ya, Belanda kasih makan, ya mereka kerjalah,”Jonan kembali menimpali.
Namun demikian Jonan menekankan tidak sedikit orang-orang Maluku yang sejak awal berjuang berjuang melawan kolonialisme Belanda. Dia kemudian menyebut beberapa nama. Saya kemudian mengiyakan.
‘Ayah saya KNIL, saya bangga’
“Ayah saya juga KNIL. Keluarga saya rata-rata KNIL semua,” Frans Isak Amanupunnjo alias Pak Caki kali ini bersuara perihal latar belakang profesi ayahnya. Dia kemudian mengenang, sebelum mengungsi ke Jakarta, ayahnya ditugaskan di Batu, di pinggiran Kota Malang, Jawa Timur.
Namun menurut Pak Caki, ayahnya lebih memilih bergabung ke Indonesia setelah KNIL dibubarkan. “Setelah hijrah dari Batu, dia ke Jakarta, dia lepas KNlL-nya,” ungkap ayah empat anak ini. Ayahnya kemudian membesarkan anak-anaknya dengan menjadi pegawai negeri sipil di Fakultas Kedokteran Indonesia.
Seperti diketahui, lima tahun setelah Indonesia merdeka, atau setahun setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia (1949), KNIL resmi dibubarkan oleh pemerintah Belanda.
Saat itulah, sebagian tentara KNIL memilih bergabung ke Angkatan Perang Indonesia Serikat (APRIS) atau pensiun dini. Dan sisanya, yaitu sebagian tentara eks-KNIL dari Maluku, memilih terbang ke Belanda.
Puluhan tahun kemudian, siang itu, Caki yang beristrikan orang Menado, kemudian mencoba menggambarkan apa yang ada di benaknya ketika melihat kembali sejarah keluarganya.
“Waktu lalu adalah waktu lalu… Semuanya sudah selesai,” katanya dengan nada tegas. Dia mengaku bangga dengan pilihan yang diambil bapaknya, yaitu bekerja sebagai KNIL dan kemudian memilih bergabung ke Indonesia.
Sebelum pensiun pada awal 2000, Pak Caki sendiri mengikuti jejak ayahnya: terjun sebagai pegawai negeri sipil (PNS) sebagai kepala keamanan sebuah perusahaan BUMN.
Dilema orang-orang Maluku
Puluhan tahun sudah berlalu, Jopie Taihuttu mencoba mengingat lagi apa yang disebutnya sebagai dilema sebagian orang-orang Maluku ketika dihadapkan perubahan politik luar biasa yaitu Indonesia merdeka.
“Kita dihadapkan suatu kenyataan yang, mau-tidak-mau, harus dibuat pilihan,” Jopie mencoba menggambarkan apa yang dipikirkan orang-orang Maluku yang seangkatan ayahnya.
“Di satu pihak, memang ada yang menggembirakan tentang kemerdekaan RI, tapi di satu pihak ada orang-orang (Maluku) yang merasa punya kedekatan emosional dengan Belanda yang begitu dekat.”
Soal kedekatan emosional dengan Belanda, demikian Jopie menganalisis, tidak terlepas dari kenyataan sejarah bahwa kolonial Belanda pertama kali masuk wilayah Nusantara melalui kawasan Maluku (“Karena cengkeh,” katanya).
Interaksi budaya, agama dan bahasa yang berlangsung lama akhirnya melahirkan kedekatan emosional di antara pendatang dan masyarakat setempat, katanya.
“Tetapi,” sambungnya cepat-cepat, “ada (orang-orang Maluku) yang sejak awal pro Indonesia, termasuk papa saya.”
“Dan pilihan itu memang tergantung mereka melihat situasi apa yang terjadi dan apa yang mempengaruhi lingkungan mereka.”
Mendukung Indonesia merdeka
Memang, kenyataan sejarah menunjukkan tidak sedikit orang-orang Maluku terdidik yang sejak awal mendukung kemerdekaan Indonesia dari tangan Belanda.
Sejumlah nama bahkan tercatat berperan aktif dalam merumuskan dasar negara Indonesia seperti Johannes Latuharhary (lahir 1900). Menjadi anggota BPUPKI, Latuharhary tercatat terlibat aktif dalam perdebatan di dalam sidang-sidangnya.
Satu lagi adalah Johannes Leimena (lahir 1905) yang sudah terlibat aktif semenjak Kongres Pemuda Indonesia 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda. Setelah Indonesia merdeka, Leimena berulangkali dipercaya duduk sebagai menteri dalam beberapa kabinet.
“Pada saat peralihan dan tuntutan pilihan, ada orang-orang (Maluku) yang bisa melihat wawasan kemerdekaan dengan baik, sehingga mereka mau berperan di situ. Mereka mau memajukan Indonesia karena melihat sesuatu yang lebih baik, tidak mau dijajah bangsa Belanda.”
Jopie kemudian bercerita pengalamannya terlibat percakapan dengan seorang warga Maluku yang sudah lama tinggal di Belanda. Dia menyebut lawan bicaranya itu masih memendam keinginan untuk melanjutkan keberadaan Republik Maluku Selatan (RMS).
Di mata Jopie, keinginan itu menunjukkan cara berpikir mereka seperti katak dalam tempurung. “Tidak melihat kenyataan situasi dan perubahan yang sudah terjadi di Indonesia, sehingga mengharapkan situasi yang masih mimpi.”
Republik Maluku Selatan
RMS dideklarasikan di Ambon pada 1950, dan semenjak kekuatannya dilumpuhkan pasukan TNI di masa Sukarno, para pengikutnya kemudian mendirikan pemerintahan pengasingan di Belanda.
Sampai saat ini, orang-orang yang menyebut dirinya pimpinan RMS di Belanda terus menuntut kemerdekaan dari Indonesia, di antaranya melalui tuntutan digelarnya sebuah referendum. Tuntutan ini jelas ditolak oleh pemerintah Indonesia.
Walaupun kekuatan RMS cenderung melemah, masih ada dukungan terhadap gerakan ini, seperti yang tergambar ketika segelintir orang warga Maluku mengibarkan bendera RMS.
Mereka melakukannya saat menarikan Cakalele di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di lapangan Merdeka Ambon, akhir Juni 2007 silam. Kini para tahanan politik ini masih meringkuk di penjara Nusakambangan.
Saat mewawancarai Caki alias Frans Isak Amanupunnjo, kami sempat menyinggung RMS. Dia mengaku ada “saudaranya” menjadi tentara RMS di Belanda.
“Saya bilang di sini (Indonesia), RMS tidak diakui. Menurut saya, Belanda harus bertanggung jawab, karena menjanjikan negara bagi RMS,” ungkap Caki.
“Dan saya sendiri tidak setuju kalau di sini (di Indonesia) ada negara di atas negara. Tapi kalau di negara sana (Belanda), silakan.” Caki secara tegas menyatakan dia mendukung langkah pemerintah Indonesia yang sejak awal menolak keberadaan RMS.
Menerima kenyataan
Pagi itu, saya kemudian mengajukan pertanyaan terakhir kepada Jopie Taihuttu, sesepuh masyarakat Maluku di Jakarta sekaligus pegiat Yayasan Dana Beasiswa Maluku, yang menyalurkan dana untuk mahasiswa Maluku yang berprestasi.
Apa harapannya kepada generasi penerus orang-orang Maluku di tengah kompleksitas sejarah yang melingkupinya, begitulah kira-kira pertanyaan saya.
“Harus tahu sejarah, kenapa situasinya seperti itu; kedua, harus menerima kenyataan; dan ketiga, kami harus menjelaskan kepada generasi berikutnya bahwa kita (masyarakat Maluku) sudah berbuat demi bangsa ini.”
Di jalan Kramat Tujuh dan Delapan yang sepi, sejarah tidak sepenuhnya beranjak. Caki, Jopie, Jonas dan Robby tidak akan melupakan masa lalu dan identitas yang melekat serta melatari perjalanan mereka.
Tetapi di sisi lain, saya melihat mereka menyadari keniscayaan perubahan yang terus terjadi dan mereka terus melangkah walaupun di belakangnya masih tersisa pertanyaan yang belum terjawab. [BBC]