Diakonia.id –
Tekanan mental yang timbul dari pergumulan Tuhan kita dengan cobaan, begitu memaksa tubuh-Nya gempar dengan tidak wajar, sehingga pori-pori-Nya menitikkan banyak darah yang jatuh ke tanah. Ini membuktikan betapa luar biasa beban dosa yang saat itu mampu menghancurkan Sang Juruselamat sehingga titik-titik darah-Nya tersuling keluar! Ini menunjukkan kuat perkasa cinta-Nya. Adalah pengamatan yang sangat cantik dari Isaac Ambrose tua bahwa getah yang dicucurkan dari pohon tanpa dipotong terlebih dahulu selalu adalah yang terbaik. Pohon bunga pacar yang berharga ini menghasilkan rempah-rempah yang paling manis ketika terluka oleh cambuk yang bersimpul-simpul, juga ketika ditusuk paku di salib; tapi lihat, pohon itu memberikan rempah-rempah yang terbaik saat tidak ada cambuk, paku, maupun luka. Ini menyatakan penderitaan Kristus itu sukarela, karena tanpa tombak pun darah mengalir deras. Tidak perlu menaruh lintah, atau menyayat dengan pisau; darah-Nya mengalir secara spontan. Tidak perlu para penguasa berteriak, “Berbual-buallah, hai sumur!” [Bilangan 21:17] dari-Nya sendiri darah menyembur seperti aliran merah kirmizi. Jika seseorang menderita kesakitan batin yang besar, rupanya darah bergegas menuju jantung. Pipi menjadi pucat; rasanya seperti ingin pingsan; darah mengalir ke dalam seolah-olah ingin memelihara manusia batiniah saat seorang manusia melewati ujian. Tapi lihat Juruselamat kita dalam penderitaan-Nya; Dia sama sekali tidak mementingkan diri, bahwa kesakitan-Nya alih-alih membuat darah-Nya menuju ke jantung untuk memelihara diri-Nya sendiri, kesakitan itu justru mendorong darah ke luar untuk memerciki bumi. Penderitaan Kristus, yang sampai-sampai membuat-Nya tertuang ke tanah, menggambarkan kepenuhan persembahan yang Ia beri kepada umat manusia.
RENUNGAN HARIAN (diterjemahkan dari Morning and Evening: Daily Readings, Charles H. Spurgeon).
Isi renungan ini bebas untuk disalin dan disebarluaskan.