Diakonia.id – Penembakan di Mabes Polri, Jakarta, oleh ZA (25) dinilai memiliki pola serangan yang biasa dilakukan pengikut Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Kuncinya, serangan sporadis, tanpa komando. Ini dianggap berbahaya lantaran bisa ditiru siapapun tanpa terlacak sebelumnya.
Diketahui, ZA melakukan penembakan di Mabes Polri setelah melewati penjagaan petugas yang renggang. Ia menodongkan sepucuk senjata yang ia bawa ke arah petugas. Aksi saling tembak tak terhindarkan. Ia pun tewas dengan tembakan di jantung.
Aksi teror di Mabes Polri yang terjadi, Rabu (31/3), itu hanya berselang tiga hari sejak aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Minggu (28/3).
Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia (UI) Ridlwan Habib menduga aksi semacam ini memicu efek domino alias menginspirasi pengikut jaringan teroris lain melakukan serangan serupa.
“Ini yang wanita aja berani, masa laki-laki cuma rebahan. Ini makanya harus hati-hati, aksi ini menjadi inspirasi bagi aksi-aksi yang lain,” kata dia kepada CNNIndonesia.com, Rabu (31/3) malam.
Habib menyebut pola serangan sporadis, tak terstruktur, tanpa rencana matang, serta beberapa kali melibatkan perempuan seperti itu memang menjadi pola serangan yang digunakan kelompok JAD. Kata dia, aksi tersebut dilakukan tanpa komando dan tidak bergantung pada pemimpin.
Kasus lainnya ialah serangan dua perempuan menyerang Mako Brimob, Depok, 2018; dan bom bunuh diri oleh satu keluarga di Surabaya di tahun yang sama.
Pola serangan itu, katanya, berbeda dengan aksi-aksi teror asal 2000-an yang dilakukan oleh Jemaah Islamiyah (JI).
Dalam beberapa kasus, JI melakukan serangan mereka dengan terstruktur dan memberi korban jiwa lebih banyak. Misalnya, dalam serangan Bom Bali I (2002), Bom JW Marriot (2003), Bom Bali II (2005), hingga Bom Ritz Carlton (2009).
Dibanding sejumlah aksi teror tersebut, pola serangan JAD bak frenchise atau bisa dilakukan siapapun tanpa memerlukan izin dari pimpinan.
“Enggak perlu ada fatwa pimpinan. Pokoknya siapa pun dari anggota yang meyakini ideologi ini kalau melakukan aksi ijtihadiyah, bunuh diri, dipersilakan siapapun yang ready,” katanya.
Sebab, Habib menyebut para pengikut JAD memiliki keyakinan yang sama bahwa aksi tersebut adalah ibadah amaliyah yang akan membawa pelakunya ke surga meski tak terikat struktur organisasi.
“Jadi pengendalian jaringannya bisa saja terputus-putus. Maksudnya setiap sel bahkan tidak saling mengenal. Tapi sama-sama dalam satu pemahaman ideologi yg sama,” kata dia.
Ideologi ini, kata dia, bisa didapatkan lewat sejumlah ceramah pemimpin JAD sendiri, Aman Abdurrahman, yang saat ini hanya tinggal menunggu eksekusi mati, yang masih dapat diakses lewat internet secara bebas.
Walhasil, menurutnya, pola serangan tersebut justru lebih berbahaya karena akan memotivasi sesama anggota yang lain untuk melakukan hal serupa.
“Apalagi ini wanita. Wanita bisa menginsipirasi laki-laki. Mereka pasti malu. Laki-laki, teroris maksud saya. Mereka pasti malu lah,” ucapnya.
Bukan Lonewolf
Habib mencurigai ZA bukan merupakan lonewolf atau teroris tunggal tanpa jaringan. Menurut dia, serangan teror oleh anggota JAD kerap dilakukan secara bersama-sama, minimal dua sampai tiga orang. Setidaknya, dalam hal pengajaran teknik terornya.
Pihaknya pun menunggu penyelidikan polisi terkait kemungkinan ada pelaku lain dalam serangan terakhir di Mabes Polri itu.
“Kalau lonewolf, itu kalau sama sekali dia enggak punya jaringan. Kalau saya sih menduga ini ada temennya, entah dua, tiga orang. Tapi saya melihat dia enggak mungkin belajar sendiri,” katanya.
Sebelumnya, Kapolri Listyo Sigit menyebut ZA merupakan pelaku tunggal alias lonewolf. Kepolisian juga menyita surat wasiat dari rumahnya di Ciracas, Jakarta Timur.
(thr/arh)