Diakonia.id –“Sejak 2016 tren intoleransi non-muslim jadi pejabat publik itu meningkat. Sekilas kita bisa katakan bahwa argumen 212 adalah puncak dari intoleransi itu setidaknya basis empirisnya kurang. Jangan-jangan justru sebaliknya, 212 yang meningkatkan intoleransi,” ujar Burhan Muhtadi, peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI).

Burhan mengungkapkan hal itu dalam presentasi hasil survei nasional LSI, antara lain tentang toleransi dan intoleransi, di Jakarta, Senin (24/9/2018).
Untuk intoleransi politik, rata-rata mengalami peningkatan. Sebagian responden muslim menolak memilih kepala daerah dari kalangan non-muslim (h/t Merdeka.com).
Muslim terhadap ibadah non-muslim
Karena keterbatasan tempat, infografik penyerta artikel ini tak memasukkan sikap non-muslim pada tahun 2016 dan 2017. Di sisi lain, LSI tak mengukur sikap non-muslim terhadap muslim pada 2016 dan 2017.
Untuk isu pembangunan rumah ibadah non-muslim, misalnya. Pada 2016, ada 52 persen responden muslim yang menyatakan keberatan. Tahun berikutnya, 2017, ada 48 persen yang berkeberatan. Lalu pada 2018, ada 52 persen.
Terhadap non-muslim yang menyelenggarakan kegiatan keagamaan, pada 2016 ada 40 persen responden muslim yang berkeberatan. Lalu pada 2017 pihak yang berkeberatan sempat turun, ada 36 persen. Lantas pada 2018 naik lagi menjadi 38 persen.
Ketika pertanyaan serupa terajukan, tapi berkebalikan, tentang non-muslim terhadap muslim, hasilnya berbeda.
Untuk kegiatan keagamaan muslim, hanya lima persen non-muslim yang berkeberatan. Sedangkan untuk pembangunan rumah ibadah muslim, cuma 12 persen yang berkeberatan.
Intoleransi terhadap pejabat publik
LSI juga mengukur sikap terhadap kepala daerah. Paling aktual tentu calon presiden karena tahun depan ada Pilpres 2019.
Terhadap presiden non-muslim, keberatan responden muslim terus meningkat. Pada 2016 ada 41 persen responden yang berkeberatan. Lalu pada 2017 naik menjadi 50 persen. Sedangkan pada 2018 menjadi 55 persen.
Jika pertanyaan diajukan kepada responden non-muslim tentang pemimpin dari kalangan muslim, mayoritas menyatakan tidak keberatan.
Persatuan Alumni 212 tak sepakat
Terhadap paparan Burhan dan LSI, juru bicara Persatuan Alumni 212, Novel Bamukmin menolaknya.
Kepada detikcom kemarin (25/9/2018), Novel bilang, “Untuk LSI sangat kuat kami duga memang survei pesanan penguasa untuk menjatuhkan elektabilitas caleg, cabup, cagub dan capres dari pihak yang berseberangan penguasa yang LSI ini tugasnya menggiring suara ke penguasa.”
Novel tak sepakat bila aksi 212 – demo besar di Jakarta, 2 Desember 2016 – disebut sebagai pemicu intoleransi.
Bagi Novel, “Apalagi lebih ngawur lagi kalau aksi bela Islam yang jelas di situ puncak toleransi yang real dan keajaiban yang memecahkan teori apa pun karena 8 juta berjalan super tertib, super toleransi.”
Aksi 212 adalah demo besar atas nama aksi bela Islam untuk menuntut pemerintah agar mengadili gubernur DKI saat itu, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama. Ahok mereka anggap menistakan agama Islam.
Bukan negara Islam
Tentang keberatan muslim terhadap presiden non-muslim, Burhan berpendapat ada faktor keyakinan.
“Ada anggapan ‘Pak itu adalah bagian dari keyakinan saya. Tidak boleh non-muslim menjadi pejabat publik.’ Sayangnya, kita bukan negara Islam. Dalam konteks demokrasi, seharusnya setiap orang memiliki hak yang sama untuk menjadi pejabat publik,” kata Burhan (h/t Berita Satu).
Terhadap temuan survei itu, Zannuba “Yenny” Ariffah Chafsoh Rahman Wahid, berharap semua pihak berhati-hati.
“Kalau kita tidak berhati-hati, ini kemudian akan menciptakan sekat-sekat dalam masyarakat, maka intoleransi akan meningkat. Potensi konflik sesama warga bangsa juga akan meningkat. Ini yang harus dicegah,” kata Yenny. (lokadata)