Diakonia.id – Berdasarkan CAB, akan ada pengecualian bagi enam komunitas agama minoritas: Hindu, Sikh, Buddhist, Jain, Parsi dan Kristen, apabila mereka bisa membuktikan bahwa mereka berasal dari Pakistan, Afghanistan atau Bangladesh.
Syarat untuk mereka diperpendek menjadi enam tahun, serupa dengan syarat untuk nonwarganegara yang ingin menjadi warga negara India.
Mengapa RUU ini kontroversial?
Pihak oposisi mengatakan RUU ini bersifat eksklusif dan melanggar prinsip sekular yang menaungi konstitutsi India.
Menurut mereka, agama dan kepercayaan tak boleh menjadi syarat untuk meraih kewarganegaraan.
Konstitusi India melarang diskriminasi berdasar agama terhadap warga negara, serta menjamin semua orang sama di hadapan hukum.
Pengacara Gautam Bhatia mengatakan dengan membuat pembagian Muslim dan non-Muslim, RUU ini, “secara terbuka dan terus terang mengubah diskriminasi agama menjadi hukum, bertentangan dengan semangat sekular di negara kami”.
Sejarawan Mukul Kesavan mengatakan RUU ini “berkesan diarahkan untuk orang asing, tapi tujuan sebenarnya adalah delegitimasi kewarganegaraan Muslim”.
Menurut pengkritiknya, jika memang diarahkan untuk melindungi minoritas, RUU ini seharusnya memasukkan komunitas minoritas Muslim yang menghadapi persekusi di negara asal mereka. Misalnya kelompok Ahmadiyah di Pakistan dan Rohingya di Myanmar.
Sementara itu pemerintah India malahan sedang berupaya mendeportasi pengungsi Rohingya dari India melalui keputusan Mahkamah Agung.
Pemimpin senior BJP Ram Madhav membela RUU ini dengan mengatakan, “tak ada negara di dunia yang menerima imigran gelap”.
R Jagannathan, direktur eksekutif di majalah Swarajya yang juga mendukung RUU itu, menulis bahwa “dikecualikannya Muslim dari cakupan RUU ini berangkat dari kenyataan bahwa ketiga negara yang disebut itu merupakan negara Islamis, baik karena disebut di konstitusi mereka, maupun akibat tindakan kaum militan Islam yang menyasar pada kelompok minoritas yang dipaksa berpindah agama atau dirundung”.
Bagaimana sejarah RUU ini?
Citizen Amendment Bill pertama kali dibicarakan di parlemen bulan Juli 2016.
RUU ini lolos di majelis rendah yang dihuni oleh mayoritas dari BJP, tapi belum bisa lolos dari majelis tinggi, setelah terjadi protes yang diiringi kekerasan anti-imigran di timur laut India.
Protes terjadi dengan hebat di negara bagian Assam, di mana pada bulan Agustus lalu dua juta penduduk dikeluarkan dari daftar warga negara.
Daftar warga negara atau National Register of Citizens (NRC) merupakan daftar orang yang bisa membuktikan bahwa mereka telah berada di India sebelum 24 Maret 1971, sehari sebelum negara tetangga, Bangladesh, memerdekakan diri dari India.
Menjelang penerbitan NRC sebelumnya, BJP telah mendukung NRC, tetapi mengubah tanggal di dalamnya sebelum daftar final diumumkan, dan mengatakan hal itu disebabkan oleh faktor kekeliruan.
Akibatnya, jutaan orang dikeluarkan dari daftar warga negara dan berpeluang menjadi imigran gelap di India.
Namun imigran Hindu Bengali – pemilih utama BJP – dan non-Muslim lainnya bisa tetap tinggal di Assam dan ada di daftar itu seandainya CAB ini diaktifkan.
Di sinilah RUU yang sedang diusulkan terhubung dengan daftar warga negara itu, dan berpeluang memberi tekanan kepada kelompok Muslim karena tak mendapat perlakuan yang sama dengan non-Muslim.
Belakangan, Menteri Dalam Negeri Amit Shah mengusulkan adanya daftar warga negara di tingkat nasional untuk memastikan bahwa “setiap penyusup harus diidentifikasi dan diusir dari India” pada tahun 2024.
“Jika pemerintah berkeras dengan rencana menjalankan NRC secara nasional, Muslim yang terkena aturan itu akan tetap menjadi imigran gelap, sedangkan bagi yang lainnya (non-Muslim) akan mendapatkan pemutihan oleh Citizenship Amendment Bill itu apabila mereka bisa menunjukkan bahwa mereka berasal dari Afghanistan, Bangladesh atau Pakistan,” kata Bhatia.
Ketika NRC dan CAB digabungkan, keduanya “berpotensi mengubah India menjadi masyarakat mayoritas dengan hak-hak warga negara yang berbeda-beda,” kata ahli sosiologi Niraja Gopal Jaya. (BBC)