Diakonia.id – Tahukah Anda bagaimana cikal bakal pers berkembang di Nusantara? Bagi yang belum pernah menyimak kajian sejarah Ahmat Adam dalam Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (1995), mungkin akan terperangah.
Ternyata, awal mula pers atau media massa di Nusantara erat kaitannya dengan sejarah penyebaran agama Kristen di Nusantara, khususnya Kristenisasi yang dilakukan di Batavia (kini bernama Jakarta).
Kristenisasi yang bagi sebagian orang dianggap sebagai “pemurtadan” bangsa Belanda terhadap kaum bumiputra yang telah menganut agama tertentu (apalagi jika dengan paksaan), ternyata berdampak terhadap lahirnya pers atau surat kabar di Nusantara. Mengapa bisa demikian?
Keberadaan pers atau penyebaran berita di Nusantara melalui penerbitan koran, majalah, dan lain-lain, tak bisa dilepaskan dengan sejarah mesin percetakan di Nusantara.
Dan pengenalan mesin percetakan pertama kali dilakukan oleh para misionaris atau penyebar agama Kristen Prostestan Belanda. Para misionaris menggunakan mesin percetakan untuk menerbitkan literatur Kristen (Injil, bahan pengajaran) ke dalam bahasa yang berlaku di Nusantara.
Jadi, mesin percetakan tersebut sengaja didatangkan untuk tujuan kristenisasi atau penginjilan terhadap penduduk di Nusantara. Hanya saja, upaya perdana ini mengalami banyak kendala.
Mesin cetak pertama tiba di Batavia pada tahun 1624. Namun, kala itu di Batavia belum ada tenaga ahli yang mampu mengoperasikan mecin cetak. Akibatnya, mesin cetak ini sempat menganggur selama bertahun-tahun.
Untuk mendapatkan tenaga terampil itu, pengurus gereja di Batavia kemudian mengusulkan ke pemerintah Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) agar mendatangkan tenaga khusus dari Belanda. Namun, usulan itu tak kunjung dipenuhi.
Hingga pada tahun 1659, seorang bernama Kornelis Pijl, memprakarsai sebuah mesin percetakan yang dapat memproduksi sebuah tijtboek, yakni sejenis almanak yang diistilahkan HJ de Graaf (1969) dengan sebutan “mesin waktu”.
Mesin tijtboek terus digunakan hingga pemerintah VOC menyadari akan pentingnya mesin percetakan sebagai alat menyebarkan propaganda dan aturan hukum kolonial kepada penduduk Batavia.
Maka, pada 1667, didatangkanlah mesin percetakan yang lebih baik, termasuk matriks yang menyediakan berbagai jenis huruf.
Dan produk perdana percetakan ini adalah Perjanjian Bongaya, yaitu perjanjian perdamaian yang ditandatangani Laksamana Cornelis Speelman dan Sultan Hasanuddin di Makassar pada 15 Maret 1668.
Dokumen itu dicetak oleh Hendrick Brant. Ia adalah ahli percetakan yang direkrut VOC dan telah menandatangani kontrak untuk menangani percetakan dan penjilidan buku atas nama VOC. Konon, untuk pekerjaan itu, ia mendapat upah sebesar 86 dolar.
Hendrick Brant hanya bertugas mengoperasikan mesin percetakan karena mesin adalah milik Kompeni atau pemerintah VOC. Namun, ia adalah pencetak satu-satunya yang ada di Batavia selama tiga tahun berturut-turut.
Selain mempekerjakan Hendrick Brant, VOC selanjutnya mempekerjakan ahli percetakan baru bernama Pieter Overtwater dan tiga tenaga Kompeni lainnya. Percetakan baru ini bernama Edele Compagnie (pencetak buku Kompeni).
Dan setelah itu, percetakan semakin banyak bermunculan di Batavia.
Hanya saja, ada satu tokoh penting dari semua proses itu yaitu Pendeta Andreas Lambertus Loderus. Pada tahun 1699, pendeta itu mendayagunakan percetakan Edele Compagnie secara maksimal.
Pada tahun itu, pendeta itu berhasil membuat banyak sekali karya penting dalam bahasa Belanda, Melayu, dan Latin, termasuk sebuah kamus Latin-Belanda-Melayu. Kamus itu adalah karya yang ia susun sendiri.
Walaupun di Batavia sudah bermunculan beberapa percetakan, VOC masih belum puas. Demi kerahasiaan dan kepentingan lainnya, pada 1718 VOC juga mendirikan percetakan yang khusus mencetak dokumen-dokumen resmi dan dokumen rahasia.
Percetakan itu berada di Benteng (kasteel) Batavia. Dan semua urusan di luar pemerintah (swasta) ditangani oleh selain percetakan ini.
Sementara itu, kaum misionaris di masa ini juga mulai mendapatkan solusi untuk kebutuhan mencetak bahan kristenisasi di Batavia. Pada 1743, Seminarium Theologicum di Batavia memperoleh satu unit mesin percetakan.
Mesin ini mulai mencetak Injil, buku doa, dan terbitan lain yang berbahasa Melayu. Namun sayangnya, percetakan ini kemudian diambil alih oleh pemerintah VOC dan digunakan untuk membantu percetakan Benteng.
Demikianlah sejarah percetakan perdana di Batavia dan sekaligus perdana di Nusantara, Mesin-mesin cetak tersebut mulai menggeser sistem penulisan yang dilakukan oleh juru tulis.
Dalam catatan Graaf (1969: 13), tertulis bahwa mesin percetakan telah “menghemat tenaga penulis pengganda”.
Hanya saja, penting dicatat pula bahwa walaupun sudah ada mesin percetakan, namun hingga 120 tahun kemudian, belum muncul pemikiran untuk mencetak atau menerbitkan surat kabar atau koran.
Sebelum koran diterbitkan melalui mesin cetak, laporan berkala para saudagar dibuat dengan tulisan tangan, contohnya adalah Memorie der Nouvelles yang telah beredar di masyarakat. Isinya adalah berita atau saripati surat terkait perdagangan yang diedarkan ke para pegawai VOC.
Metode penyebaran berita dari tulisan tangan itu sudah digunakan sejak Jan Pieterszoon Coen memimipin VOC di Batavia. Lalu kapan dan siapa yang menerbitkan surat kabar pertama?
Surat kabar pertama terbit pada masa Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff, yaitu pada 8 Agustus 1744. Surat kabar itu lahir melalui percetakan Benteng dengan nama Bataviase Nouvelles.
Surat kabar dikelola oleh Jan Erdman Jordens. Ia adalah seorang saudagar kawakan yang diperbantukan di kantor VOC Batavia.
Kala itu, Bataviase Nouvelles hanya terdiri dari selembar kertas berukuran folio yang kedua halamannya berisi berita dua kolom. Para pembaca bisa mendapatkan surat kabar itu setiap hari Senin.
Selain memuat berita atau maklumat resmi dari Pemerintah, surat kabar tersebut juga melayani pemasangan iklan untuk pengumuman-pengumuman lelang.
Hanya saja, surat kabar ini hanya beredar bagi kalangan elite VOC. Tak pernah ada sumber sejarah yang menyatakan bahwa surat kabar perdana ini jatuh ke tangan kaum pribumi atau bumiputra.
Dan surat kabar pertama yang kemuingkinan mulai jatuh ke tangan orang bumiputra adalah Vendu Nieuws yang terbit pada 1776. Pemimpinnya adalah L Dominicus. Media massa atau koran ini juga memuat iklan-iklan lelang.
Itulah koran-koran perdana di masa VOC yang menandai kelahiran dunia pers di Nusantara.
Karena pada 31 Desember 1799, VOC dinyatakan bubar akibat mengalami kebangkrutan, kekuasaan Batavia beralih ke pemerintahan Bataafse Republiek (Pemerintahan Belanda).
Sejak itu, wilayah pendudukan VOC di Nusantara langsung ditangani oleh pemerintah Belanda di Eropa. Dan dunia surat kabar di Nusantara juga terus menunjukkan perkembangan yang semakin modern.
Abad berikutnya, melalui surat kabar, gagasan nasionalisme berhasil membangkitkan para pemuda Indonesia untuk berjuang dengan cara-cara baru.
Di sisi lain, para pemuda, kaum intelektual perdana, yang telah melek media massa, menjadikan pers sebagai alat propaganda tentang impian Indonesia merdeka. (netralnews)